Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2020

Hingar Bingar Semu

Media sosial terasa menyesakkan. Keinginan untuk menghilang dari hingar bingar keramaian semu semakin membuncah. Mendesak di sana sini. Tapi bisa apa? Belum bisa apa-apa, selain menguatkan diri, mengambil jarak sebisa mungkin. Membuka seperlunya, sekadar untuk menunaikan kewajiban. Hingar bingar semu ini sudah tidak baik untuk diri sendiri. Kegelisahan mendera tiap melihat lini masa yang tidak damai. Keributan, yang bahkan tidak di dekat diri, bisa menimbulkan keresahan dalam diri. Butuh waktu untuk meredakan. Ah sedang muak-muaknya, sedang ingin menghilang, sedang tidak ingin dijangkau oleh siapapun. Andai saya bisa pergi sebentar, sekadar menenangkan isi kepala yang sedang suntuk. Hampir-hampir di puncaknya. Keluhan untuk meliburkan diri agaknya akan terus ada sampai pada hari saya benar-benar libur. Melepaskan diri dari cengkeraman laptop dan ponsel selular. Rasanya saya harus cepat-cepat mencari hal lain agar tidak terkungkung dalam perasaan gelisah yang sudah berhasil saya redam b

Surat Cinta untuk Rabbnya - Penghujung Waktu

Ampunan, keberkahan, rahmat, dan banyak nikmat lainnya Allah limpahkan dalam satu bulan ini, di bulan Ramadan. Hadiah untuk 10 malam terakhir pun tidak main-main - lailatul qadar, malam yang lebih baik dari 1.000 bulan. Bahkan umur manusia di zaman ini tidak akan sampai sebegitu lamanya. Hadiah yang begitu besar ini setara pula dengan godaan duniawinya. Dengan narasi kemenangan, dengan narasi menyambut Idulfitri, tak jarang orang jadi terlena - melonggarkan ikat pinggang. Banyak kegiatan di siang hari, kelelahan di malam hari - hingga tak ada waktu untuk menghidupkan malam-malam yang paling Allah berkahi. Rasulullah pada malam-malam ini mengurangi tidurnya dan terjaga, berdiri hingga kakinya bengkak. Pun seorang sahabat bertanya,  'Mengapa engkau sholat sampai sebegitunya ya Rasul, padahal Allah telah menjamin surgamu?' 'Apakah aku tidak boleh bersyukur pada Allah atas segala nikmat yang sudah Ia limpahkan padaku?' Rasulullah bermunajat hingga bengkak kakinya. Salah sat

Surat Cinta untuk Rabbnya - Sumur Kering

"Katakanlah (Muhammad), Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?" [67:30] - Saya masih ingat sekali bagaimana ayat ini menempel di otak saya, lalu menyentuh hati. Saya masih ingat, ayat ini saya lihat di acara ceramah pagi kala masih duduk di bangku SMA. Saat itu, Ust. Yusuf Mansur berkisah bahwa ada orang yang mengalami kekeringan di rumahnya, lalu membaca ayat terakhir dari surat Mulk ini. Dengan kuasa Allah, mengalirlah air dari sumur yang sudah kering selama beberapa bulan. Dari ceramah itu saya berpikir, Allah tidak hanya memelihara hal-hal besar yang terlihat dan terjangkau. Tapi merawat manusia sedemekian detailnya sampai hal terkecil pun. Di ceramah lainnya, dikatakan mintalah pada Allah meski itu hanya garam. Dari sini saya mulai cinta, cinta sekali dengan surat Al Mulk. Salah satu surat yang saya baca dan dengar dalam keadaan apapun. Utamanya dalam keadaan hati yang berat, pikiran yang kacau

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja

Surat Cinta Untuk RabbNya - Arah

Manusia dalam banyak kesempatan jadi buta arah. Bukan tentang barat atau selatan, tapi mana yang benar dan batil. Sang Penunjuk Arah kadang tak dihiraukan, diacuhkan begitu saja. Tersesat pun tetap tidak ingin meminta diarahkan. Sang Penunjuk Arah hanya tersenyum melihat hamba-hambanya yang keras kepala. Sekali dua kali masih termaafkan. Tiga sepuluh kali apakah tidak malu bahkan untuk sekadar menaikkan tangan? Sang Penunjuk Arah dengan segala kebaikan yang melekat pada diriNya selalu mengarahkan hamba-hambanya yang keras kepala kembali dalam alur yang beraturan. Ada yang menolak, ada yang dengan senang hati menerima petunjuk arah. Setiap kehilangan arah, manusia akan jadi gelisah dan gundah. Perasaan yang entah kapan bisa reda. Tersesat. Lalu, Secercah cahaya di ujung jalan adalah jawaban dari Sang Penunjuk Arah yang Maha Baik. Cahaya itu menembus ke relung hati, sampai ke nurani. Entah apa, tapi tenang yang dirasa. Tenang dan berarah serta bertujuan. "Sabar