Langsung ke konten utama

I'm not that good, really.

"Opin itu *insert compliment word* ya"

Tadi saya mendengar kata-kata yang malah membuat saya menjadi manusia paling tidak baik. Kenapa? Dipuji itu tidak lebih baik daripada dihina. Dipuji oleh orang adalah suatu hal yang malah membuat saya berpikir keras, apakah iya saya yang seperti mereka gambarkan?

Konteks yang saya bicarakan ini dalam hal keagamaan.

Saya tidak pernah membuat citra saya sedemikian rupa. Berusaha sebegitu keras agar orang memang membantuk citra yang saya bentuk. Tidak. Tapi Allah Maha Mengetahui isi hati.

Tampak luar yang terlihat dari diri saya hanya sebagaian kecil dari dalam kepribadian saya yang terlihat, yang bahkan saya pun tidak mengerti bagaimana bentuk pribadi saya ini.

Saya hanya berusaha untuk selalu memperbaiki diri saya -dalam hal keagamaan- menjadi lebih baik lagi, tapi ternyata hal itu membentuk sebuah gambaran keseluruhan pribadi saya.

Dalam hal keagamaan, saya sebenarnya tidak ingin melakukan di depan banyak orang, bukan karena takut disangka riya' namun lebih kepada pembentukan image diri. Lagi-lagi Allah yang Maha Mengetahui.

Dilabeli dengan sifat yang baik, sebenarnya menjadi beban bagi saya. Namun saya aamiin-kan saja. Toh, itu adalah bentuk dari doa, bukan?

Tapi percayalah, bentuk luar yang anda lihat pada saya, hanya sepersekian persen dari keseluruhan diri saya. Saya tidak sebaik itu, saya tidak sebagus yang anda kira.

Citra baik yang terlihat hanya bentuk kebaikan Allah kepada saya, menutup semua aib-aib saya dengan caraNya yang indah.

Manusia harusnya bersyukur Allah memang tidak menghendaki aib-aib yang ada nampak di luar. Bayangkan jika memang hal itu adalah ketetapanNya, sudah seburuk apa penampilan kita? Sudah sebau apakah kita, jika aib-aib itu keluar sebagai bau busuk?

Sungguh, penilaian anda kepada saya terlalu berlebihan. Terlalu baik.

Komentar

Popular

Bertanya

"Libatkanlah Allah dalam hal sekecil apapun." Pernyataan itu terngiang di kepala saja sejak lama. Saya berusaha supaya Allah terlibat dalam tiap langkah hidup saya. Bahkan, ketika saya memutuskan untuk bertemu yang terakhir kali saja saya berdoa dalam-dalam; "Kalau Opin gak boleh ketemu, tolong hujan aja ya Allah, tapi kalau boleh dan Opin nggak apa-apa tolong dibantu." Lalu, di hari yang sudah sangat gelap itu, tidak setetes air pun turun, hingga saya sampai di rumah. Saya percaya, Allah akan selalu bantu, Allah akan kasih arahan. "Kalau tidak baik, mohon dilapangkan.." Doa itu kembali saya ulang-ulang, hingga sepertinya hati sudah lapang. Ada yang tadinya mendekat, lalu pergi kemudian. Meski saya tidak tahu ke depannya seperti apa, tapi hati rasanya lapang dan hanya menerima dan berprasangka bahwa ini adalah jawaban dari doa. Ketika hari-hari yang lalu, manusia ini jadi nama pertama yang muncul, kini tidak lagi. Bahkan, ketika melihat namanya muncul, tak...

#NotetoMySelf Tiga Kunci

Hari ini saya kembali dihadapkan pada kenyataan bahwa sekarang saya sudah berada dalam sebenar-benarnya kehidupan. Lulus dari perkuliahan lantas tidak membuat kehidupan saya lebih mudah, malah membuat saya harus selalu menguatkan diri saya dan tidak boleh lagi cursing diri saya. Untuk diri saya, ini adalah tiga kunci yang saya berikan sebagai pengingat setiap detiknya. Tetaplah bungkus pikiranmu bahwa dunia ini hanya sementara ketika kamu mulai lelah, namun jangan pernah berhenti. You can take a break, but don't quit . Istigfar - Sudah berpikir berapa banyak dosa yang kamu lakukan tiap detiknya? Maka perbanyaklah istigfarmu dengan harapan Allah akan memaafkan sedikit demi sedikit tumpukan dosamu. Perbanyaklah istigfarmu dengan harapan Allah akan mempermudah langkahmu. Perbanyaklah istigfarmu dengan harapan Allah akan selalu mengizinkanmu untuk dapat dekat denganNya. Tahmid - Sudah pernah mencoba menghitung nikmat apa yang Allah berikan kepadamu setiap menitnya? Kamu p...

Hitam

Setelah sekian lama tidak bertemu dengan titik hitam itu, ia kembali menemui saya. Mungkin tak segelap dulu, tapi tetep menyiksa. Segala gelisah dan cemas, saya paksa redam dalam tidur berjam-jam. Namun, rasa tak enak masih ada dan seperti tak berkesudahan. Saya harus merelakan tiga hari untuk meringkuk di kasur. Berusaha menerima segala emosi negatif yang sedang datang membelenggu. Semua daya upaya untuk meredakannya seperti ditepas sana dan sini. Tak ada pilihan selain merangkulnya, menerima diri saya yang sedang meredup. Pikiran yang lalu seakan bersautan.  "Kenapa.." ada di tiap bagian otak saya yang tentu saja tidak akan menemukan jawabnya. Dan dari semua yang paling menyiksa adalah pikiran bahwa saya sendirian. Berulang kali saya coba katakan bahwa hal itu tidak benar, tapi berulang kali juga sisi waras saya kalah. "Iya, saya sendirian. Iya, tidak ada yang peduli. Iya, dunia akan selalu baik-baik saja meski saya tidak ada." Lalu, sekelebat bayangan keluarga me...

Damai yang Mematikan

"Sudah sudah jangan ribut," tegur ibu saya malam ini pada saya dan adik saya. Kami berdua sedang beradu argumen tapi tidak serius, kami pun tahu. Lalu, ibu saya bilang bila pusing mendengar kami. Saya pun menyaut. "Berantem itu bagian dari perkembangan dan tumbuh. Gak akan tumbuh kalau gak berantem. Lagian jadi gak tau apa yang mau disampaikan." Lancar sekali dan terdengar kurang sopan ya. Namun, ibu saya harus tahu kalau kami berdua sudah besar dan paham bagaimana caranya berdiskusi. Sebagai saudara, rasanya wajar toh berselisih pendapat.  Setidaknya saya tahu perspektif adik saya atas satu hal, dan saya pun bisa mengutarakan pendapat saya. Selama tidak pakai bahasa yang kasar, menurut saya ya wajar saja. Lalu, saya menyadari. Pikiran saya melayang ke keadaan rumah bertahun-tahun lalu.  Orang tua kami selalu terlihat adem-ayem saja. Tak pernah tengkar bentak sana sini. Tak pernah saling caci maki di depan kami. Kalau membaca literasi soal 'parenting' ini ad...

Bernapas Bebas

Sembilan hari di Wisma Atlet mengajarkan pelajaran berharga soal bersyukur. Bukan tentang membandingkan keadaan dengan orang tapi lebih berusaha peka lagi atas nikmat Allah yang sering diabaikan karena didapatkan secara cuma-cuma, oksigen dan bernapas. Lorong yang saya lewati malam itu, memperlihatkan manusia-manusia yang tengah berjuang sekuat tenaga mereka untuk.. bernapas. Oksigen setinggi badan, berada di samping tempat tidur mereka. Bisa jadi, malam itu adalah malam ternyenyak mereka dari awal gejala melanda. Kesulitan bernapas tak hanya dialami pasien, tetapi juga para nakes yang harus memakai baju pelindung hingga 8 jam bahkan lebih tanpa boleh diberi celah angin sedikit pun. Masker berlapis ditambah plester sana sini, pasti membuat mereka pun tak leluasa untuk menghirup udara. Allah memberkahi para nakes dengan kekuatan dan kesabaran yang luar biasa. Lagi-lagi Allah memberi pelajaran hidup ke saya, untuk lebih pasrah, untuk hanya bergantung kepadanya, untuk selalu yakin dan tid...