Langsung ke konten utama

Cerita Jilbab Saya.

Dalam Al quran, Allah berfirman pada surat An Nur ayat 31, 

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖوَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖوَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖوَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚوَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.




Kala itu, saya yang belum menutup aurat tidak meresapi firman Allah itu dengan sungguh-sungguh karena masih terjebak dengan pemikiran “saya belum siap”. Pemikiran belum siap itu kemudian dikuatkan dengan pernyataan “yang diperbaiki hatinya dulu, baru auratnya ditutup”.
Bertahun-tahun, sejak SD, saya terperangkap dalam pemikiran seperti ini. Pun lingkungan saya juga bukan lingkungan yang agamis.

Hingga tiba saya di suatu peristiwa, yang mana mulai membuka sedikit perangkap pikiran saya. Mungkin Allah ingin memberikan hidayah pada hambaNya yang satu ini.
Saya memasuki jenjang perkuliahan.

Saat itu saya ingin sekali masuk Universitas Indonesia. Lalu, saya pun bernazar kepada Allah, jika saya masuk UI, saya akan menutup aurat saya. Nazar yang saya ucapkan dengan hati yang yang belum sepenuhnya yakin. Namun yakin bahwa Allah akan mengabulkan permintaan saya ini, karena saya “menjanjikan” Dia, saya akan menutup aurat, “mengikuti’ perintahNya.

Hari pengumuman pun berlalu. Saya tidak masuk dua universitas yang saya inginkan. Saya berada di titik rendah hidup saya. Saya membatin “Saya kan sudah menjanjikan saya akan menutup aurat tapi kok tetap tidak dikabulkan?”

Hingga akhirnya saya sudah merasa sangat tidak ada harapan.

Dalam situasi yang sedikit kalut, saya pun melakukan sholat istikharah. Bukan karena kebingungan akan memilih universitas yang mana, namun bertanya kepada Allah, apakah saya harus menutup aurat atau tidak.

Hahahaha pertanyaan yang seharusnya tidak saya pertanyakan.

Maha Baik Allah kepada hambaNya ini. Dalam titik sudah pasrah dan ikhlas atas apapun yang Allah akan berikan kepada saya, saya membuka twitter dan melihat akan ada ujian masuk universitas islam se Indonesia. Dipikiran saya waktu itu, “oh murah ini biayanya”, makanya saya mencoba tanpa berpikir saya akan masuk atau tidak. Pokoknya pasrah sepasrah-pasrahnya. Saat itu saya juga mencoba ujian masuk Unpad.

Singkat cerita, saya diterima di dua universitas tersebut. Alhamdulillah.
Kemudian saya bingung yang mana yang harus saya pilih. Bisa dibilang Unpad adalah salah satu universitas impian saya, tapi UIN....mungkin jawaban Allah atas sholat istikharah saya.
Saya pun kembali bertanya pada Allah, universitas mana yang harus saya ambil, yang baik bagi saya dalam semua sisi, dan paling baik bagi saya untuk belajar menutup aurat saya.

Tadaaa!

Kuliah-lah saya di UIN.

Orang-orang ada yang menghargai juga tidak menghargai pilihan saya. Karena melihat akan akreditas kedua universitas tersebut. Bahkan teman saya ada yang mengatakan bahwa pilihan yang saya ambil itu ‘bodoh’.
Mereka pasti tidak tahu bahwa ini adalah jalan yang Allah pilihkan untuk akhirat saya, bukan dunia. J
---------
Apa pelajaran yang saya dapat dari semuanya?

Banyak!

Bahwa Allah memang memberikan hidayahNya pada hamba-hambaNya yang Ia kehendaki. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena saya melihat ibu saya. Ibu saya belum menutup auratnya. Saya sudah mencoba untuk menasehati, namun Rasullullah pun mengajarkan bahwa menasehati orang untuk kebaikan tidak boleh memaksa. Karena pada akhirnya keputusan berada ditangan orang tersebut. yang terpenting adalah saya sudah memberitahukan.

Bahwa Allah mengelilingi saya dengan orang-orang yang memang menurut Ia baik untuk saya.

Bahwa Allah membuka pikiran saya tentang hal-hal salah yang dulu sempat terkonstruk dalam pikiran saya.

Kalau saya boleh minta satu waktu untuk dimundurkan, saya akan minta agar Allah dulu ‘menyuruh’ orang tua saya agar memasukan saya ke pesantren.
----------
Apakah akhlak saya kemudian menjadi baik setelah saya berhijab?

Ada yang mengatakan bahwa hijab dan akhlak adalah dua hal yang berbeda. Karena memang pada kenyataannya tidak semua muslimah yang berhijab berakhlak baik. Namun, saya merasa dengan hijab ini saya ingin memperbaiki diri saya semakin baik untuk Allah. Saya tentu tidak sempurna, namun saya berusaha setidaknya diri saya lebih baik terutama dalam pemahaman tentang agama saya.
-----------
Saya yang sekarang kemudian berpikir bahwa menjadi hal yang penting bagi seseorang untuk mempelajari agama yang sudah dianutnya lebih dalam. Bahkan dengan mempelajari agama lainnya, sehingga semakin yakin bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin.
------------
Saya merasakan kebahagiaan ketika satu persatu teman-teman saya mulai menutup auratnya. Mungkin itu suatu kebahagiaan antar sesama muslimah, yang saya juga tidak mengerti kenapa bisa saya rasakan.
------------

Itulah sepenggal cerita mengenai hijab saya. Semoga Allah senantiasa menguatkan hambaNya ini untuk tetap istiqomah dalam jalanNya menuju kebaikan. Karena dunia hanya sementara, sementara akhirat adalah kekal. 

Komentar

Posting Komentar

Popular

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di- uninstall ..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial. Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya. Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya. Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu. Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopu...

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena...

Bising

Luarku tampak tenang Tapi, otakku bergemuruh Seperti ombak di tengah samudera Menghantam kapal-kapal nelayan Yang tengah mencari ikan. Aku diam Namun, kebisingan ini tak mau hilang. Aku menangis, Kukira ia akan pergi melalui Rembesan air yang mengalir. Suara-suara itu masih ada Tak mau diam Hingar bingar itu masih terasa Tak mau pergi Perutku pun bergemuruh Meminta haknya yang tak jua diisi Karena hingar bingar ini membunuh Semua rasa laparku Aku menutup mata Masih dengan harap yang sama Hanya supaya tak lagi bising Sudah berhenti Aku ingin memejamkan mata sejenak Kembalilah di waktu lain

Surat Cinta untuk Rabbnya - Niat

Iman manusia itu tidak tetap, cenderung naik dan turun. Rasul yang benar-benar Allah jaga saja masih banyak-banyak berdoa agar ditetapkan iman Islamnya. Akhir-akhir ini sedang kembali memperbaiki niat dalam banyak hal terutama ibadah. Niat 'karena Allah' itu kadang masih bias. Jadi ketika ingin ibadah, mempertanyakan lagi, saya niat sholat untuk apa ya? Udah benar karena Allah belum ya? Atau karena sudah terbiasa sholat jadi ya kurang saja kalau belum sholat.  Bahkan, hingga sekarang saya masih meraba bekerja karena Allah itu seperti apa. Niat juga berhubungan dengan yang namanya muraqabah; perasaan yang membuat kita sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi hamba-Nya. Sifat ini yang lagi saya pupuk pelan-pelan agar apa-apa yang saya kerjakan saya selalu ingat, Allah lihat loh. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai titik terdalam diri. Perkara niat ini cukup menyentil karena kajian Ust. Oemar Mita. Dalam videonya beliau bilang, 'niat ibadah karena Allah itu utama,...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja...