Langsung ke konten utama

Damai yang Mematikan

"Sudah sudah jangan ribut," tegur ibu saya malam ini pada saya dan adik saya.

Kami berdua sedang beradu argumen tapi tidak serius, kami pun tahu. Lalu, ibu saya bilang bila pusing mendengar kami.

Saya pun menyaut.

"Berantem itu bagian dari perkembangan dan tumbuh. Gak akan tumbuh kalau gak berantem. Lagian jadi gak tau apa yang mau disampaikan."

Lancar sekali dan terdengar kurang sopan ya. Namun, ibu saya harus tahu kalau kami berdua sudah besar dan paham bagaimana caranya berdiskusi. Sebagai saudara, rasanya wajar toh berselisih pendapat. 

Setidaknya saya tahu perspektif adik saya atas satu hal, dan saya pun bisa mengutarakan pendapat saya. Selama tidak pakai bahasa yang kasar, menurut saya ya wajar saja.

Lalu, saya menyadari. Pikiran saya melayang ke keadaan rumah bertahun-tahun lalu. 

Orang tua kami selalu terlihat adem-ayem saja. Tak pernah tengkar bentak sana sini. Tak pernah saling caci maki di depan kami.

Kalau membaca literasi soal 'parenting' ini adalah hal yang benar.

Lantas salahnya di sebelah mana? 

Di kedamaian itu sendiri. 

Kami, terbiasa tidak menyampaikan apa yang kami rasa atau pikir. Kami tidak biasa bermusyawarah atas masalah. Tidak ada rasanya memori di otak kami, di mana sekeluarga duduk bersama membicarakan suatu masalah.

Saya hanya pernah mendengar kedua orang tua saya bertengkar hebat satu kali saja. Dan itu membuat saya goyah secara mental. Waktu itu pikiran untuk mengakhiri hidup sempat mampir karena tumpukan emosi yang tak bisa keluar. Saat saya sadari, keinginan itu bukanlah kebetulan dan datang tiba-tiba, tapi akumulasi dari emosi yang tak bisa disalurkan.

Dari situ dan tahun-tahun berikutnya, saya tahu bahwa keluarga kami tidak baik-baik saja.

Saya sebagai anak pertama merasa punya beban yang sebenarnya tidak harus saya rasakan. Hanya itu datang secara natural saja.

Saya berusaha kuat, menyimpan semuanya sendiri karena terkutuk dalam mantra 'anak pertama harus kuat.' Padahal, dalam ketidakmampuan ada kekuatan sendiri. Sementara yang mengaku kuat kebanyakan rapuh dan kosong.

Menangis jadi hal yang sangat saya hindari. Bahkan di ingatan saya, ketika saya SMA jarang sekali saya menangis karena terkutuk mantra sialan itu.

Saya tidak menyalahkan orang tua saya atas komunikasi yang tidak baik di dalam keluarga ini. Pun saya tidak menyalahoan bila itu berpengaruh pada kemampuan saya meregulasi emosi saya, pada kemampuan saya menyampaikan maksud saya ke orang. Saya sedang belajar untuk itu.

Hanya, saya ingin memberi pengertian sampai kapan mau damai tapi saling membunuh satu dengan yang lain. Cuma bisa mendumel atas hal yang tidak enak tapi tak pernah disampaikan? Saya berusaha memahami jika ibu saya mungkin tidak fokus atas hal-hal seperti ini di tengah cobaan hidup sana-sini. Yang ada di benaknya mungkin hanya soal anaknya bahagia. Dan bahagia itu kalau damai terus-terusan lalu abai atas hal yang tidak enak. Padahal tidak seperti itu.

Bahwa hal tidak enak itu harus dibicarakan. Sakit. Teriak. Sedih. Manusia perlu melewati itu, supaya bisa berproses.

Keluarga yang selalu bertengkar atau malah terlalu diam itu tidak baik untuk kesehatan mental orang-orang di dalamnya, terutama anak.

Ketidakmampuan komunikasi ini biar sampai di saya saja, jangan ke anak-anak saya nanti. 

Sungguh kedamaian yang selama ini saya rasakan itu perlahan-lahan mematikan.

Komentar

Popular

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Kematian

Pembukaan kematian adalah sakaratul maut. Sakaratul sendiri berarti sakit yang sampai-sampai kehilangan akal. Apa yang bisa membantu melewati sakaratul maut? Amal ibadah.. Sebenarnya Rasul pun mengalami sakaratul maut sebagai tanda bahwa beliau juga manusia biasa. Rasul aja mengatakan bila itu sakit, bagaimana kita? “Saya takut gak bawa apa-apa pas mati..” Saya baru tersadar bila tidak semua amal baik yang dilakukan itu Allah ridho dan terima, karena kualitas amalan itu Allah yang tahu dan nilai. Maka butuh untuk memohon supaya amalnya diterima. Memohon amal diterima bukan berarti suudzon ke Allah tapi ya berdoa juga bagian dari kewajiban kan? Jangan lupa minta agar pahalanya bukan hanya diganjar di dunia, tapi juga disimpan untuk bekal di akhirat. Ingat betul perkataan Ust Oemar Mita; Mengharap amal kita juga bernilai akhirat bukan hanya dunia. Kalau semuanya udah diberi di dunia, nanti di akhirat bawa apa? Padahal yang kekal itu akhirat dan lebih dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pe...

Datang Lagi

Hal-hal yang membuat trauma tiba-tiba timbul ke permukaan. Saya yang terbiasa memberi, kini merasa takut untuk menerima beribu kebaikan dan cinta yang disuguhi di depan mata. Diberi tanpa pamrih, dan penuh ketulusan. Pertanyaan: Apakah ini tidak apa-apa, Menggelayut tak mau pergi. Berusaha dihalau dengan ribuan afirmasi diri yang mudah-mudahan berfungsi. Pikiran untuk pergi juga terdengar berkali-kali tiap rasa tak nyaman menerima kasih sayang itu menghampiri. Sekuat tenaga saya halau dan mengatakan, ini yang memang sudah sepantasnya seorang kekasih beri pada orang yang ia kasihi. Ini tak berlebih, hanya diri kamu saja yang belum mampu membiarkan itu masuk ke hati. Kemudian, pernyataan soal yakin juga masih membuat geli tengkuk ketika tak sengaja terdengar. Ah apakah saya tidak punya hal-hal baik sehingga orang bisa yakin pada saya?, Pertanyaan yang menggelayut relung malam ini. Tapi, lagi lagi manusia ini meyakinkan saya bahwa ia sayang, bahwa saya tak perlu merasa seperti itu.  L...

Yakin

Allah sudah mengarahkan jalan, akhirnya, pada satu orang yang belum lama dikenal. Meski begitu, saya merasa sudah mengenalnya dan bisa berbicara tentang apapun. Dalam waktu kesendirian yang lama ini, membuat saya berpikir, sosok apa yang saya butuhkan untuk bersama-sama menghadapi keanehan hidup. Ternyata sosok itu ada di dirinya. Lubang yang perlahan saya isi dengan diri saya sendiri, menjadi lebih sempurna ketika ia hadir. Kami tak saling mengobati, tapi saling berjanji akan menemani diri berproses. Keputusan ini memang terasa cepat, apalagi banyak hal yang tidak saya ceritakan ke khalayak. Bukan karena tak ingin, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar tak perlu sebuah kisah saya sampaikan secara utuh. Malah, lebih dipilah, bagian mana yang bisa diceritakan, mana yang tidak ke orang-orang yang tentunya juga dipilah-pilah. Mungkin fisik dia, tak sekuat saya. Mungkin pemikiran dia, tak setenang saya. Tapi, hatinya luar biasa luas, lapang, dan baik. Tapi, cintanya untuk sa...

Surat Cinta untuk RabbNya - Rencana

Banyak rencana yang terucap dalam perbincangan.  Bicara tentang masa depan selalu indah, selalu menggugah. 'Nanti kita..' Sempat terucap di perbincangan malam itu. Hingga kini, Aku tak jua lupa. Tiap kata, tiap rasa dalam frasa. Malam ini, Semesta kembali mengambil perannya. Membuatku ingat hal-hal yang sudah hampir kulupa. Entah kenapa. Sebuah teater boneka masuk dalam rencana masa depan, kala itu. Namun, lagi lagi manusia tidak kuasa mewujudkan tiap rencana. Sang Semesta yang tentu lebih berkuasa tentang apa-apa di luar kuasa manusia. Rencana itu kini telah sirna, Tersapu waktu, Menjadi debu.