Langsung ke konten utama

Caregiver

 Mari memulai tulisan ini dengan, hai apa kabar?

Hampir enam bulan sejak saya memutuskan untuk menjalani ketetapan Allah atas kesempatan beribadah terpanjang. Dari waktu yang masih singkat ini pula saya belajar banyak hal dan masih akan belajar banyak hal lagi ke depannya. 

Namun, dua hal yang lagi-lagi jadi poin dalam ibadah ini dan terus-terusan saya minta ke Allah untuk bantu diberikan: sabar dan mengerti.

Agaknya tanpa dua hal itu, saya yang egonya masih di ubun-ubun, tidak akan tanggungjawab atas komitmen besar ke Allah ini dan bakal mengiyakan suara-suara di kepala saya: pergi aja kali ya?

Tiap pikiran itu datang, saya berusaha mengingat Allah, berusaha mengingat bahwa ini adalah ujian karena tujuan saya menikah adalah ingin mendapat berkah Allah. Tidak mungkin diberkahi tanpa ujian bukan?

Surah al-Anfal [28] ayat 28, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.”

Tapi sebagaimana ujian, kadang kita ingin menyerah saja dan mengambil jalan yang lebih mudah dan ringan untuk dilewati. Namun, sejatinya semakin berat semakin naik juga tingkatan keimanan kita di mata Allah.

Saya sadar betul langkah yang sudah diambil ini memang tidak mudah dari awal. Pun saya berkali-kali meyakini diri bahwa Allah akan membantu dan menolong saya seperti yang sudah-sudah. 

Perkara menikah bukan hanya tentang senang dan bahagia, tapi juga kesedihan, kerumitan, kesusahan yang mana akan diuji dengan berbagai bentuk yang tidak kita duga.

Kerap kali saya belum sabar, kerap kali kebablasan dengan nada yang meninggi, kerap kali berpikir saya lelah saya mau pergi saja.

Kalau sedang penuh dengan diri saya sendiri, saya akan merasa kenapa cuma saya yang memenuhi? Saya juga butuh loh dipenuhi. Pikiran saya juga penuh dengan apa lagi yang harus saya lakukan? Saya harus bantu gimana lagi?

Pertanyaan-pertanyaan ini datang silih berganti, tidak mau mengerti kalau saya juga tidak ada jawaban yang bisa diberi.

Namun, berulang kali pula saya mencoba melihat dalam perspektif yang lebih luas, dari segala sisi, berusaha menempatkan diri saya dalam perspektif pasangan saya agar saya lebih paham, berusaha lebih mendengar lagi maksudnya supaya saya mengerti.

Pernikahan bukan tentang 50:50 tapi mungkin terkadang bisa jadi 1:99 dan perbandingan angka yang kalau secara matematis tidak adil.

Lagi-lagi, mari berharap hanya pada Allah, selama kewajiban pada suami dan hak atas Allah sudah berusaha saya penuhi, biarlah Allah yang memenuhi hak saya yang tidak berdaya ini.

Mungkin kali ini saya sedang lelah saja dan butuh diam sejenak agar tidak melampiaskan tumpukan pikiran ini dengan cara yang salah dan akhirnya merugikan saya.

Semoga Allah selalu bantu saya untuk bisa jadi istri yang baik, yang mampu merawat diri sendiri dan suaminya dengan baik pula. Aamiin.

Komentar

Popular

Surat Cinta untuk Rabbnya - Pasrah

Ingatan saya kembali pada hal-hal yang selalu Allah berikan untuk saya. Bagaimana proses saya menuju hal tersebut. Pasrah. Semua Allah beri ketika keadaan saya pasrah, ketika saya tak berharap pada apapun, ketika saya berkata 'Yang terbaik menurutMu ya Rabb'. Untuk sampai di titik itu lagi, Saya butuh hati yang benar-benar lapang. Tak terjerumus pada kesemuan dunia. Ya Rabb, Saya belum dalam keadaan pasrah lagi pada tiap ketentuan dan ketetapanmu. Ya Rabb, Bantu saya untuk memasrahkan semuanya, hingga hati ini tak lagi gelisah, hingga diri tak lagi meronta. Ya Rabb, Jadikanlah hambaMu pasrah..

RumahNya

Terbersit rasa ingin berlama-lama di masjid sepulang kantor.  Kala hati gundah gulana dan matahari masih mengangkasa, tujuan akhir bukan rumah tapi rumahNya.  Empuknya kasur tak bisa menggantikan kelegaan jiwa saat duduk bersimpuh di tempat yang paling tenang di dunia.  Kadang rumah hanya jadi tempat istirahat badan, tapi tidak dengan jiwa. Ia meronta, menuntut untuk segera dipertemukan dengan Yang Maha Menenangkan. Pandemi membuat semua lini kehidupan harus beradaptasi. Jarang saya mengutuk musibah yang dirasakan semua orang di dunia ini karena bekerja dari rumah adalah salah satu impian saya. Namun, pandemi membuat kegiatan rehat jiwa saya jadi terganggu. Cara lain harus ditempun. Kajian virtual tak akan pernah menggantikan nikmat duduk berlama-lama di majelis ilmu. Meski kajian sudah mulai dibuka kembali, tapi rasa khawatir masih menghampiri.  Semoga tidak hanya badan saya saja yang beradaptasi dengan situasi aneh ini, tetapi juga jiwa yang meminta agar haknya dipenuhi.

Opin Jalan-jalan!: Ada apa sih di Ibu Kota? #1

Kepenatan skripsi dalam 5 bulan terakhir kemarin, membuat saya uring-uringan sendiri. Hanya satu dibenak saya saat itu,  travel!  Saya berpikir ini adalah satu-satunya cara agar pikiran saya kembali segar dan dapat menulis bab selanjutnya dengan baik. Tapi, dengan keterbatasan budget untuk jalan-jalan ke luar kota, saya pun memutuskan untuk berkeliling Jakarta. Terdengar membosankan?  https://aenze.blogspot.com/2013/01/tunggu-dulu-puisi-martinus-sihwanto.html      Destinasi wisata di Jakarta memang bukan berpusat di destinasi alam, seperti gunung ( yaiyalah! ) atau pantai. Walaupun ada pantai di ujung Jakarta sana. Nah, karena saya memang lebih suka wisata yang ada edukasinya, makanya saya milih untuk berkunjung ke museum dan galeri seni. Maka kemarin saya menghibur diri saya dengan putar-putar ke destinasi yang memang mengedukasi. Kemana sajakah saya? Mungkin bisa jadi referensi untuk kamu-kamu yang ingin 'cuma' muter-muter naik Trans Jakarta tapi nambah pengetahuan

Surat Cinta Untuk RabbNya - Arah

Manusia dalam banyak kesempatan jadi buta arah. Bukan tentang barat atau selatan, tapi mana yang benar dan batil. Sang Penunjuk Arah kadang tak dihiraukan, diacuhkan begitu saja. Tersesat pun tetap tidak ingin meminta diarahkan. Sang Penunjuk Arah hanya tersenyum melihat hamba-hambanya yang keras kepala. Sekali dua kali masih termaafkan. Tiga sepuluh kali apakah tidak malu bahkan untuk sekadar menaikkan tangan? Sang Penunjuk Arah dengan segala kebaikan yang melekat pada diriNya selalu mengarahkan hamba-hambanya yang keras kepala kembali dalam alur yang beraturan. Ada yang menolak, ada yang dengan senang hati menerima petunjuk arah. Setiap kehilangan arah, manusia akan jadi gelisah dan gundah. Perasaan yang entah kapan bisa reda. Tersesat. Lalu, Secercah cahaya di ujung jalan adalah jawaban dari Sang Penunjuk Arah yang Maha Baik. Cahaya itu menembus ke relung hati, sampai ke nurani. Entah apa, tapi tenang yang dirasa. Tenang dan berarah serta bertujuan. "Sabar

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena