Langsung ke konten utama

Datang Lagi

Hal-hal yang membuat trauma tiba-tiba timbul ke permukaan.

Saya yang terbiasa memberi, kini merasa takut untuk menerima beribu kebaikan dan cinta yang disuguhi di depan mata. Diberi tanpa pamrih, dan penuh ketulusan.

Pertanyaan:
Apakah ini tidak apa-apa,

Menggelayut tak mau pergi. Berusaha dihalau dengan ribuan afirmasi diri yang mudah-mudahan berfungsi.

Pikiran untuk pergi juga terdengar berkali-kali tiap rasa tak nyaman menerima kasih sayang itu menghampiri.

Sekuat tenaga saya halau dan mengatakan, ini yang memang sudah sepantasnya seorang kekasih beri pada orang yang ia kasihi. Ini tak berlebih, hanya diri kamu saja yang belum mampu membiarkan itu masuk ke hati.

Kemudian, pernyataan soal yakin juga masih membuat geli tengkuk ketika tak sengaja terdengar.

Ah apakah saya tidak punya hal-hal baik sehingga orang bisa yakin pada saya?,

Pertanyaan yang menggelayut relung malam ini.

Tapi, lagi lagi manusia ini meyakinkan saya bahwa ia sayang, bahwa saya tak perlu merasa seperti itu. 

Lagi-lagi manusia baik hati itu merangkul segala ketakutan saya, mendekap ketidakpercayaan diri saya dengan kelembutannya.

"Aku sayang kamu," katanya berulang kali.

Terima kasih, terima kasih sekali lagi🤍

Komentar

Popular

Caregiver

 Mari memulai tulisan ini dengan, hai apa kabar? Hampir enam bulan sejak saya memutuskan untuk menjalani ketetapan Allah atas kesempatan beribadah terpanjang. Dari waktu yang masih singkat ini pula saya belajar banyak hal dan masih akan belajar banyak hal lagi ke depannya.  Namun, dua hal yang lagi-lagi jadi poin dalam ibadah ini dan terus-terusan saya minta ke Allah untuk bantu diberikan: sabar dan mengerti. Agaknya tanpa dua hal itu, saya yang egonya masih di ubun-ubun, tidak akan tanggungjawab atas komitmen besar ke Allah ini dan bakal mengiyakan suara-suara di kepala saya: pergi aja kali ya? Tiap pikiran itu datang, saya berusaha mengingat Allah, berusaha mengingat bahwa ini adalah ujian karena tujuan saya menikah adalah ingin mendapat berkah Allah. Tidak mungkin diberkahi tanpa ujian bukan? Surah al-Anfal [28] ayat 28, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” Tapi sebagaimana ujian, kad...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Terima Kasih

Dalam perjalanan pulang sehabis bekerja hingga larut, saya berhenti sejenak. Menengok ke sekitar, menengadahkan wajah ke langit. Lalu bergumam,  Masya Allah saya sudah ada di titik ini. Titik yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi di tahun sebelumnya. Lebih besar, lebih menyenangkan. Berkesempatan ada di sini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, melihat dalam perspektif yang berbeda. Air mata saya luruh diam-diam, tak mampu saya bendung. Ingin sekali bergegas berwudhu dan mengucap syukur sebanyak-banyaknya, serta memohon ampun sedalam-dalamnya. Begitu besar yang Allah beri, begitu sedikit kewajiban yang saya tunaikan. Tak ada murka dalam tiap perjalanan, tapi selalu ada teguran yang mengembalikan. Ya Rabb, hambaMu yang lalai ini berusaha untuk selalu berterima kasih atas segala ketetapan dan ketentuanMu. Masih banyak sekali lalai dalam syukurnya, masih banyak kufur dalam nikmatnya. Ya Rabb, terima kasih. Terima kasih.

Surat Cinta untuk Rabbnya - Perjalanan

Hati-hati, ya Nak. Ucapnya.  Saya pun pergi untuk kembali mengadu nasib. Rutinitas seperti biasa. Telepon saya berdering. Ada ibu saya diseberang sana. Dengan sedikit bernada tinggi dan menangis, namun tidak dengan ucapan yang jelas. Saya tahu ada yang tidak beres. Saya berusaha tenang, karena tak mungkin memunculkan kepanikan di tengah suasana kantor yang tenang. "Mbak, saya izin ya." Saya bergegas. 'Hai-hati ya, Nak.' Begitu terngiang di pikiran saya. Iya. Saya harus hati-hati. Sesampainya. Saya lihat si empunya suara suda berbaring tak berdaya, lemah. Saya tak lagi mampu menopang bendungan air mata yang sejak tadi sudah berebut untuk menelusuri pipi. Ya Rabb. Pelajaran tentang perpisahan paling dalam dan paling menyakitkan adalah kematian. Tapi ia adalah sebuah kepastian. Namun, si empunya suara masih ingin hidup.  Mungkin masih ingin bertemu keluarganya.  Mungkin masih merasa ada yang belum ia tuntaskan.  Mungkin...

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Yakin

Allah sudah mengarahkan jalan, akhirnya, pada satu orang yang belum lama dikenal. Meski begitu, saya merasa sudah mengenalnya dan bisa berbicara tentang apapun. Dalam waktu kesendirian yang lama ini, membuat saya berpikir, sosok apa yang saya butuhkan untuk bersama-sama menghadapi keanehan hidup. Ternyata sosok itu ada di dirinya. Lubang yang perlahan saya isi dengan diri saya sendiri, menjadi lebih sempurna ketika ia hadir. Kami tak saling mengobati, tapi saling berjanji akan menemani diri berproses. Keputusan ini memang terasa cepat, apalagi banyak hal yang tidak saya ceritakan ke khalayak. Bukan karena tak ingin, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar tak perlu sebuah kisah saya sampaikan secara utuh. Malah, lebih dipilah, bagian mana yang bisa diceritakan, mana yang tidak ke orang-orang yang tentunya juga dipilah-pilah. Mungkin fisik dia, tak sekuat saya. Mungkin pemikiran dia, tak setenang saya. Tapi, hatinya luar biasa luas, lapang, dan baik. Tapi, cintanya untuk sa...