Langsung ke konten utama

Hamba Allah dan Ujiannya


أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا۟ ٱلْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ ٱلَّذِينَ خَلَوْا۟ مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ ٱلْبَأْسَآءُ وَٱلضَّرَّآءُ وَزُلْزِلُوا۟ حَتَّىٰ يَقُولَ ٱلرَّسُولُ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مَعَهُۥ مَتَىٰ نَصْرُ ٱللَّهِ أَلَآ إِنَّ نَصْرَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.
     Surah Al Baqarah ayat 214 ini selalu mengingatkan saya bahwa setiap makhluk hidup akan diberikan ujian oleh Allah dalam bentuk apapun. Bahkan kesenangan dan kebahagiaan sekalipun merupakan bentuk lain dari ujian. Namun, Allah memang Maha Menyayangi dan Mengasihi, hingga Ia tetap akan menolong dan membantu hamba-hambaNya yang sedang Ia uji.
     Dalam hal ujian ini, saya dulu pernah (yang menurut saya) berada pada titik terendah diri. Mungkin dapat dikatakan mendekati putus asa karena saya sudah terpikir untuk mengambil jalan pintas dengan meninggalkan dunia ini. Tapi, Allah masih menolong saya dengan memberikan saya satu dua hal yang saya pertimbangkan. Di titik terendah itu pula, saya merasa benar-benar kehilangan diri saya, bahkan untuk menangis pun sulit.
     Lalu saya teringat bahwa Allah sangat benci orang-orang yang berputus asa atas rahmatNya, atas pertolonganNya. Allah juga tidka menyukai orang-orang yang mengambil jalan pintas dengan menyudahi kehidupannya di dunia. Mereka berpikir bahwa rasa sakit dan masalah yang selama ini mendera akan hilang, akan berakhir setelah mereka tidak lagi di dunia. Tapi, hal itu adalah awal mula dari kesengsaraan mereka. Karena dunia, Allah mengatakan dalam Alquran, hanyalah semu, senda gurau. Sementara kehidupan akhirat adalah abadi. 
     Allah begitu baik pada saya, Ia mendatangkan pikiran-pikiran positif di dalam otak saya. Entah bagaimana hancurnya saya jika waktu itu saya benar-benar melakukan itu. Allah tahu betapa lemahnya saya dihadapanNya, betapa saya merintih penuh air mata berharap Ia selalu menguatkan saya dalam situasi apapun. Tapi memang Ia adalah sebaik-baiknya penolong. Ia tidak marah kepada saya. Ia berbicara pada saya melalui sujud saya, seakan berkata "Aku disini hambaKu".
-----------
     Sekarang, kadang saya masih dalam keadaan terpuruk. Namun, keinginan untuk mengambil jalan pintas hampir tidak pernah menghampiri lagi. Saya seperti punya self-reminder. Saya istigfar, saya meluapkan semua dalam sujud-sujud saya. Saya tidak mau sok kuat di hadapanNya, karena saya memang selemah-lemahnya makhluk. Saya selalu mengingat bahwa masalah saya bahkan hanya sepersekian dari masalah dan ujian orang-orang di luar sana. Kehidupan saya jauh lebih baik daripada anak-anak di Suriah dan tempat konflik lainnya. 
Menangis bukan berarti kamu lemah. Menangis terkadang tanda bahwa kamu sudah terlalu bersabar hingga air mata-mu jatuh untuk menjadi tanda atas kesabaranmu. 
-----------
Istigfar dan berdoa adalah senjata yang terlalu ampuh untuk digunakan dalam menghadapi situasi apapun. Ujian yang Allah berikan ke saya, menjadi tanda bahwa jika orang lain yang menghadapinya mungkin tidak akan sekuat saya. Ujian yang Allah berikan kepada hamba-hambaNya sudah sangat sesuai dengan porsinya masing-masing. Dulu saya pernah membandingkan mengapa Allah menguji saya seperti ini tapi saudara saya yang bahkan sholatnya bolong-bolong hidupnya baik-baik saja?
------------
Kekeliruan saya adalah saya melihat ujian dalam hal materi saja, hal-hal yang terlihat mata. Padahal ujian yang Allah berikan dalam bentuk apapun, terlihat maupun tidak. Kekeliruan saya adalah rezeki yang Allah berikan hanya diukur melalui apa yang terlihat, padahal apa-apa yang tidak terlihat sesungguhnya jauh lebih banyak dan besar.
------------
Saya bersyukur Allah masih mau memberikan saya ujian. Itu artinya Allah masih sayang saya, masih mau mendengar doa-doa saya, masih mau membuat saya menjadi muslim yang lebih baik lagi, mau membuat saya bergantung hanya padaNya. Semoga Allah memberikan saya rasa sabar dan kuat yang tidak berbatas, seperti rahmat dan karuniaNya pada hambaNya yang tidak berbatas.

Komentar

Popular

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena...

Bising

Luarku tampak tenang Tapi, otakku bergemuruh Seperti ombak di tengah samudera Menghantam kapal-kapal nelayan Yang tengah mencari ikan. Aku diam Namun, kebisingan ini tak mau hilang. Aku menangis, Kukira ia akan pergi melalui Rembesan air yang mengalir. Suara-suara itu masih ada Tak mau diam Hingar bingar itu masih terasa Tak mau pergi Perutku pun bergemuruh Meminta haknya yang tak jua diisi Karena hingar bingar ini membunuh Semua rasa laparku Aku menutup mata Masih dengan harap yang sama Hanya supaya tak lagi bising Sudah berhenti Aku ingin memejamkan mata sejenak Kembalilah di waktu lain

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di- uninstall ..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial. Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya. Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya. Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu. Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopu...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Niat

Iman manusia itu tidak tetap, cenderung naik dan turun. Rasul yang benar-benar Allah jaga saja masih banyak-banyak berdoa agar ditetapkan iman Islamnya. Akhir-akhir ini sedang kembali memperbaiki niat dalam banyak hal terutama ibadah. Niat 'karena Allah' itu kadang masih bias. Jadi ketika ingin ibadah, mempertanyakan lagi, saya niat sholat untuk apa ya? Udah benar karena Allah belum ya? Atau karena sudah terbiasa sholat jadi ya kurang saja kalau belum sholat.  Bahkan, hingga sekarang saya masih meraba bekerja karena Allah itu seperti apa. Niat juga berhubungan dengan yang namanya muraqabah; perasaan yang membuat kita sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi hamba-Nya. Sifat ini yang lagi saya pupuk pelan-pelan agar apa-apa yang saya kerjakan saya selalu ingat, Allah lihat loh. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai titik terdalam diri. Perkara niat ini cukup menyentil karena kajian Ust. Oemar Mita. Dalam videonya beliau bilang, 'niat ibadah karena Allah itu utama,...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja...