Langsung ke konten utama

Tidak akan Bertemu dalam Titik yang Pas

Saat ini saya masih duduk sebagai mahasiswa jurusan Hubungan Internasional. Dalam perkuliahan, terdapat mata kuliah Teori HI, yang mana mata kuliah ini adalah jantung jurusan saya. Kalau tidak hatam matkul ini, mahasiswa kuliah hanya seperti zombie saja.

Pagi ini saya baru saja membaca artikel di New York Times. Sebagai anak HI, kita 'dipaksa' untuk mengetahui isu-isu yang sedang berkembang di dunia internasional. Karena paksaan yang sudah terjadi bersemester-semester, menjadikan update isu adalah hal yang lumrah dan malah menjadi kebiasaan.

Oke kembali ke artikel yang saya baca. 

Judul artikel itu adalah Both Climate Leader and Oil Giant? A Norwegian Paradox. Isu lingkungan dan minyak dunia sebenarnya selalu menjadi menarik bagi saya. Apalagi jika sudah dihubungkan ke dalam geopolitik. 

Ringkasnya, artikel ini menjelaskan mengenai peran Norwegia dalam kampanye perubahan iklim dengan mereduksi emisi negaranya. Norwegia yang merupakan anggota Uni Eropa, berkewajiban untuk mereduksi emisi yang dihasilkan negaranya hingga 40 persen. Hal itu mungkin lebih mudah bagi Norwegia yang memang telah melakukan usaha untuk mereduksi gas emisi yang dihasilkan oleh negara. Misalnya dengan memproduksi secara massal mobil listrik, sehingga tidak ada lagi mobil berbahan bakar minyak yang digunakan. Tapi, hal ini menjadi paradoks, ketika Norwegia masih 'bermain' di sektor minyak bumi, tepatnya di kawasan Arctic. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa ekspor minyak bumi menjadi salah satu penyumbang pendapatan negara, yakni sebesar 12 persen. Permintaan minyak bumi dari negara-negara Asia memang masih cukup tinggi mengingat bahwa sebagian besar negara Asia masih dalam tingkatan negara berkembang, yang masih membangun industrinya. Yang salah satu bahan penggerak industri tersebut adalah minyak bumi. Hal ini -menurut saya- diperparah dengan pengetahuan masyarakat yang masih minim tentang minyak bumi menjadi salah satu penyebab perubahan iklim di dunia. Bahkan ada yang menganggap perubahan iklim adalah suatu mitos yang sengaja dibuat.

Dalam matkul Teori HI II, ada satu teori yang bernama Green Theory. Singkatnya, teori ini menjelaskan bagaimana kebutuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan tidak akan pernah bertemu. Maksudnya, kebanyakan aktivitas ekonomi itu memiliki dampak -baik negatif maupun positif- kepada lingkungan. Tidak banyak pihak yang melakukan aktivitas ekonomi dengan bijak, maksudnya, dengan memerhatikan aspek lingkungan. Misalnya saja pembukaan lahan sawit yang seringnya membuat hutan di Indonesia gundul. Tapi, hal itu terus dilakukan asalkan menguntungkan. Atau misalnya pabrik kertas yang membutuhkan pohon sebagai bahan baku serta masih banyak contoh lainnya.

Dua hal ini memang tidak akan pernah menemukan titik yang pas, namun ada cara agar keduanya masih saling bertemu. Dewasa ini, sedang digalakkan usaha-usaha ekonomi berbasis lingkungan. Sehingga, kebutuhan ekonomi tercapai pun lingkungan terjaga. Menurut saya ini hanya tentang pemilihan cara yang digunakan. Tapi, saya tau betul teori dan praktik tidak semudah itu untuk diterapkan tapi juga tidak salah untuk dicoba.

Langkah Norwegia sebagai salah satu negara yang menjadi role-model  untuk mereduksi emisi yang dihasilkan negara menjadi pertanyaan. Gas emisi di negaranya memang tereduksi, tapi Norwegia secara tidak langsung berkontribusi dalam peningkatan gas emisi di negara lain. Sehingga, penurunan emisi di negaranya menjadi agak sia-sia karena hasilnya akan....sama saja.

Mungkin Norwegia bisa mencari cara agar 12 persen yang dihasilkan dari ekspor minyak bumi ke negara lainnya tidak hilang jika Norwegia mulai pelan-pelan melepaskan pendapatan dari sektor ini. Mungkin Norwegia bisa mulai mengajarkan dan menyebarkan cara mereduksi emisi ke negara-negara lain dengan menjual perangkat-perangkat solar system, misalnya. Daaan pada faktanya, Tiongkok, salah satu negara penyumbang gas emisi terbesar di dunia menjadi salah satu produsen panel surya terbesar di dunia. Hm.

Untuk saat ini sepertinya Norwegia belum menemukan usaha yang tepat agar negaranya tidak menjadi sebuah paradoks. Karena Norwegia sedang membangun jalur pengiriman minyak bumi yang baru, agar lebih mudah mencapai negara-negara Asia. Well, just wait for it.

------
Artikel dapat dilihat di https://www.nytimes.com/2017/06/17/world/europe/norway-climate-oil.html?smid=tw-nytimesworld&smtyp=cur&_r=0

Komentar