Langsung ke konten utama

Do Not be A Toxic Human

"Berkata yang baik atau diam", Rasulullah saw mengingatkan kepada umat manusia. Sungguh, kata-kata adalah hal yang paling kuat dan tajam untuk menusuk hati manusia lainnya. Sudah berapa banyak kasus bunuh diri dan pembunuhan akibat sakit hati, akibat merasa tidak diapresiasi? Tidak terhitung.

Memang betul pernyataan, kita tidak bisa menutup seribu mulut manusia lainnya, tapi lebih baik menutup dua kuping kita. Saya bukannya anti-kritik dan masukan yang membangun, tapi terkadang komentar-komentar tidak baik yang dilontarkan tepat di depan muka saya terlalu menohok. Apalagi saya merasa bahwa tiap yang dilakukan pasti ada saja komentarnya.

Lantas saya berpikir, manusia diberikan otak oleh Allah untuk menyaring tiap perkataan yang hendak ia keluarkan melalui mulutnya. Apakah itu akan menyakiti, apakah itu bentuk komentar yang baik, kalau saya dikomentari seperti yang akan saya komentari kira-kira bagaimana ya? Bukankah Allah memberikan kemampuan seperti itu?

Lalu saya kembali berpikir, apa susah ya mengganti diksi-diksi menjatuhkan dengan diksi membangun di jaman sekarang ini? Apa semua orang terkonstruk dengan pemikiran, jangan terlalu dibawa ke hati? Apa iya orang tidak boleh sedikit merasa tidak enak di hatinya ketika ada komentar yang tidak baik dan terlalu menghakimi? Manusia itu ya punya hati, manusia bukan robot yang datar tidak bisa merasakan apa-apa.

Memang perkara kata-kata yang baik ini perlu diedukasi lebih lagi. Apa sulitnya mengganti;

"Ya ampun ngapain kamu ngelamar cuma magang padahal udah sarjana" dengan "Ya ampun alhamdulillah, semoga nanti kalau sudah magang bisa jadi pegawai tetap ya. Yang bagus ya kerjanya".

"Skripsi kamu gak kelar-kelar, makanya dikerjain dong" dengan "Skripsi kamu udah sampai bab berapa? Susah ya? Semoga Allah berikan kemudahan yaa".

"Kok kamu cuma kerja jadi itu aja sih? Emang gak bisa cari yang lain? Yah itumah buat jajan aja gak bisa" dengan "Wah alhamdulillah udah kerja ya. Semoga berkah ya kerjaannya".

"Anak si itu udah kerja loh, gajinya dua digit. Hebat ya" *dengan intonasi ala-ala sinetron* dengan "Anak si itu udah kerja ya. Semoga kamu cepet dikasih kerjaan yang baik dan berkah ya".

"Kamu kerja udah, tinggal mana nih pasangannya? Kok masih sendirian aja?" dengan "Alhamdulillah kamu udah kerja, Tante doain semoga cepet ketemu pasangannya biar makin lengkap ya".

"Mau ngapain sih S2, kerja aja dulu bantu orang tua" dengan "Waa kamu mau S2, kok keren sih, semoga keterima ya lamaran beasiswanya".

"Eh kerjaan kamu gak bener nih, gini aja kok kamu gak bisa sih?" dengan "Ini kerjaan kamu mungkin perlu diubah sedikit di bagian ini, terima kasih ya".

Dan masih banyak segudang komentar lainnya yang sebenarnya bisa diubah diksinya menjadi diksi-diksi yang baik, sekaligus mendoakan. Bukankah saling mendoakan dalam kebaikan akan lebih cepat diijabah oleh Allah?

Komentar orang atas hidup orang lain itu perlu kok, untuk introspeksi diri. Saya lebih melihat ke arah itu. Tapi ya lagi-lagi, pemilihan kata yang akan dikeluarkan itu berpengaruh, apakah orang yang dikomentari makin baik dengan menjadikan hal itu sebagai motivasi atau malah makin terpuruk karena merasa usaha yang ia lakukan atas apapun yang sedang ia hadapi tidak diapresiasi.

Komentar

  1. People always love to give critics, yet forget to learn how to give appreciation.

    BalasHapus
  2. People always love to give critics, yet forget to learn how to give appreciation.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Kematian

Pembukaan kematian adalah sakaratul maut. Sakaratul sendiri berarti sakit yang sampai-sampai kehilangan akal. Apa yang bisa membantu melewati sakaratul maut? Amal ibadah.. Sebenarnya Rasul pun mengalami sakaratul maut sebagai tanda bahwa beliau juga manusia biasa. Rasul aja mengatakan bila itu sakit, bagaimana kita? “Saya takut gak bawa apa-apa pas mati..” Saya baru tersadar bila tidak semua amal baik yang dilakukan itu Allah ridho dan terima, karena kualitas amalan itu Allah yang tahu dan nilai. Maka butuh untuk memohon supaya amalnya diterima. Memohon amal diterima bukan berarti suudzon ke Allah tapi ya berdoa juga bagian dari kewajiban kan? Jangan lupa minta agar pahalanya bukan hanya diganjar di dunia, tapi juga disimpan untuk bekal di akhirat. Ingat betul perkataan Ust Oemar Mita; Mengharap amal kita juga bernilai akhirat bukan hanya dunia. Kalau semuanya udah diberi di dunia, nanti di akhirat bawa apa? Padahal yang kekal itu akhirat dan lebih dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pe...

Datang Lagi

Hal-hal yang membuat trauma tiba-tiba timbul ke permukaan. Saya yang terbiasa memberi, kini merasa takut untuk menerima beribu kebaikan dan cinta yang disuguhi di depan mata. Diberi tanpa pamrih, dan penuh ketulusan. Pertanyaan: Apakah ini tidak apa-apa, Menggelayut tak mau pergi. Berusaha dihalau dengan ribuan afirmasi diri yang mudah-mudahan berfungsi. Pikiran untuk pergi juga terdengar berkali-kali tiap rasa tak nyaman menerima kasih sayang itu menghampiri. Sekuat tenaga saya halau dan mengatakan, ini yang memang sudah sepantasnya seorang kekasih beri pada orang yang ia kasihi. Ini tak berlebih, hanya diri kamu saja yang belum mampu membiarkan itu masuk ke hati. Kemudian, pernyataan soal yakin juga masih membuat geli tengkuk ketika tak sengaja terdengar. Ah apakah saya tidak punya hal-hal baik sehingga orang bisa yakin pada saya?, Pertanyaan yang menggelayut relung malam ini. Tapi, lagi lagi manusia ini meyakinkan saya bahwa ia sayang, bahwa saya tak perlu merasa seperti itu.  L...

Yakin

Allah sudah mengarahkan jalan, akhirnya, pada satu orang yang belum lama dikenal. Meski begitu, saya merasa sudah mengenalnya dan bisa berbicara tentang apapun. Dalam waktu kesendirian yang lama ini, membuat saya berpikir, sosok apa yang saya butuhkan untuk bersama-sama menghadapi keanehan hidup. Ternyata sosok itu ada di dirinya. Lubang yang perlahan saya isi dengan diri saya sendiri, menjadi lebih sempurna ketika ia hadir. Kami tak saling mengobati, tapi saling berjanji akan menemani diri berproses. Keputusan ini memang terasa cepat, apalagi banyak hal yang tidak saya ceritakan ke khalayak. Bukan karena tak ingin, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar tak perlu sebuah kisah saya sampaikan secara utuh. Malah, lebih dipilah, bagian mana yang bisa diceritakan, mana yang tidak ke orang-orang yang tentunya juga dipilah-pilah. Mungkin fisik dia, tak sekuat saya. Mungkin pemikiran dia, tak setenang saya. Tapi, hatinya luar biasa luas, lapang, dan baik. Tapi, cintanya untuk sa...

Surat Cinta untuk RabbNya - Rencana

Banyak rencana yang terucap dalam perbincangan.  Bicara tentang masa depan selalu indah, selalu menggugah. 'Nanti kita..' Sempat terucap di perbincangan malam itu. Hingga kini, Aku tak jua lupa. Tiap kata, tiap rasa dalam frasa. Malam ini, Semesta kembali mengambil perannya. Membuatku ingat hal-hal yang sudah hampir kulupa. Entah kenapa. Sebuah teater boneka masuk dalam rencana masa depan, kala itu. Namun, lagi lagi manusia tidak kuasa mewujudkan tiap rencana. Sang Semesta yang tentu lebih berkuasa tentang apa-apa di luar kuasa manusia. Rencana itu kini telah sirna, Tersapu waktu, Menjadi debu.