Langsung ke konten utama

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di-uninstall..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial.

Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya.

Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya.

Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu.

Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopuler instagram, kebanyakan lingkungan terdekat saya sudah tidak memakainya, setidaknya tidak berseliweran di lini masa Twitter saya. Saya merasa baik-baik saja. Akhirnya saya berada pada satu kesimpulan, saya lelah melihat lingkungan saya, bukan karena platform media sosialnya. Tidak, lingkungan saya tentu tidak salah, karena itu adalah hak mereka untuk membagikan aktivitas mereka, yang kadang hanya goyangan kepala yang dilakukan berulang-ulang atau lebih familiar dengan sebutan boomerang.

"Lo terlalu take it seriously, santai aja kali gak usah serius-serius..."

Saya pun mencoba untuk tidak terlalu serius, namun saya benar-benar merasa tidak nyaman. Akhirnya saya perlahan-lahan mulai menarik diri dari aktivitas media sosial. Saya sudah sampai pada satu pertanyaan pada diri saya, "Buat apa sih orang harus tau lo lagi ngapain?"

Hal ini semakin menjadi dan semakin menimbulkan pertanyaan untuk saya. Saya kenapa sih? Kenapa ada perasaan ingin menghilang dan tidak diketahui kabarnya?

Puncaknya, saya harus membuat instagram lagi untuk kepentingan pekerjaan. Lalu, lingkungan terdekat saya mulai mengikuti akun saya seraya bertanya, "Pin bikin instagram lagi?". Awalnya tidak mengganggu, tapi kemudian ada yang bertanya lagi, "Pin bikin instagram lagi? Kok gue gak difollow?" Lalu saya menggerutu kenapa orang-orang pada menyadari hal ini? Dan berakhir pada dihapusnya lagi akun instagram saya. Hahahaha!

----
Percakapan hari ini dengan teman saya akan keresahan aneh saya ini membuat saya menyadari satu hal, saya sepertinya ingin dicari, itulah mengapa saya berusaha menghilang. Kenapa begitu?

Saya merasa sejak dulu saya selalu berperan sebagai first mover. Saya tidak gengsi untuk bertanya kabar teman saya yang sudah lama menghilang ketika saya merindukan mereka, saya tidak malu untuk memulai percakapan tentang hal-hal random, saya juga 'terbiasa' untuk memberi semangat pada teman saya yang saya ketahui ingin melakukan sesuatu, misalnya wawancara kerja atau sejenisnya. Saya sudah melakukan ini sejak lama.

Lantas, ego saya sedang mendominasi pikiran saya, kok saya aja ya yang gini?

Pikiran aneh namun mampu membuat saya bertingkah aneh pula.

Akhirnya, saya membiarkan keinginan untuk menarik diri dari lingkungan media sosial dan lingkungan lama saya, terjadi. Mungkin saya memang butuh jarak, mungkin saya butuh berhenti sebentar, mungkin saya perlu untuk tidak terlalu peduli.

Komentar

Popular

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Kematian

Pembukaan kematian adalah sakaratul maut. Sakaratul sendiri berarti sakit yang sampai-sampai kehilangan akal. Apa yang bisa membantu melewati sakaratul maut? Amal ibadah.. Sebenarnya Rasul pun mengalami sakaratul maut sebagai tanda bahwa beliau juga manusia biasa. Rasul aja mengatakan bila itu sakit, bagaimana kita? “Saya takut gak bawa apa-apa pas mati..” Saya baru tersadar bila tidak semua amal baik yang dilakukan itu Allah ridho dan terima, karena kualitas amalan itu Allah yang tahu dan nilai. Maka butuh untuk memohon supaya amalnya diterima. Memohon amal diterima bukan berarti suudzon ke Allah tapi ya berdoa juga bagian dari kewajiban kan? Jangan lupa minta agar pahalanya bukan hanya diganjar di dunia, tapi juga disimpan untuk bekal di akhirat. Ingat betul perkataan Ust Oemar Mita; Mengharap amal kita juga bernilai akhirat bukan hanya dunia. Kalau semuanya udah diberi di dunia, nanti di akhirat bawa apa? Padahal yang kekal itu akhirat dan lebih dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pe...

Datang Lagi

Hal-hal yang membuat trauma tiba-tiba timbul ke permukaan. Saya yang terbiasa memberi, kini merasa takut untuk menerima beribu kebaikan dan cinta yang disuguhi di depan mata. Diberi tanpa pamrih, dan penuh ketulusan. Pertanyaan: Apakah ini tidak apa-apa, Menggelayut tak mau pergi. Berusaha dihalau dengan ribuan afirmasi diri yang mudah-mudahan berfungsi. Pikiran untuk pergi juga terdengar berkali-kali tiap rasa tak nyaman menerima kasih sayang itu menghampiri. Sekuat tenaga saya halau dan mengatakan, ini yang memang sudah sepantasnya seorang kekasih beri pada orang yang ia kasihi. Ini tak berlebih, hanya diri kamu saja yang belum mampu membiarkan itu masuk ke hati. Kemudian, pernyataan soal yakin juga masih membuat geli tengkuk ketika tak sengaja terdengar. Ah apakah saya tidak punya hal-hal baik sehingga orang bisa yakin pada saya?, Pertanyaan yang menggelayut relung malam ini. Tapi, lagi lagi manusia ini meyakinkan saya bahwa ia sayang, bahwa saya tak perlu merasa seperti itu.  L...

Yakin

Allah sudah mengarahkan jalan, akhirnya, pada satu orang yang belum lama dikenal. Meski begitu, saya merasa sudah mengenalnya dan bisa berbicara tentang apapun. Dalam waktu kesendirian yang lama ini, membuat saya berpikir, sosok apa yang saya butuhkan untuk bersama-sama menghadapi keanehan hidup. Ternyata sosok itu ada di dirinya. Lubang yang perlahan saya isi dengan diri saya sendiri, menjadi lebih sempurna ketika ia hadir. Kami tak saling mengobati, tapi saling berjanji akan menemani diri berproses. Keputusan ini memang terasa cepat, apalagi banyak hal yang tidak saya ceritakan ke khalayak. Bukan karena tak ingin, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar tak perlu sebuah kisah saya sampaikan secara utuh. Malah, lebih dipilah, bagian mana yang bisa diceritakan, mana yang tidak ke orang-orang yang tentunya juga dipilah-pilah. Mungkin fisik dia, tak sekuat saya. Mungkin pemikiran dia, tak setenang saya. Tapi, hatinya luar biasa luas, lapang, dan baik. Tapi, cintanya untuk sa...

Surat Cinta untuk RabbNya - Rencana

Banyak rencana yang terucap dalam perbincangan.  Bicara tentang masa depan selalu indah, selalu menggugah. 'Nanti kita..' Sempat terucap di perbincangan malam itu. Hingga kini, Aku tak jua lupa. Tiap kata, tiap rasa dalam frasa. Malam ini, Semesta kembali mengambil perannya. Membuatku ingat hal-hal yang sudah hampir kulupa. Entah kenapa. Sebuah teater boneka masuk dalam rencana masa depan, kala itu. Namun, lagi lagi manusia tidak kuasa mewujudkan tiap rencana. Sang Semesta yang tentu lebih berkuasa tentang apa-apa di luar kuasa manusia. Rencana itu kini telah sirna, Tersapu waktu, Menjadi debu.