Langsung ke konten utama

Tiga Hal

Ada 3 hal yang akhir-akkhir ini selalu saya ulang dalam percakapan dengan Sang Pencipta, Yang Maha Menyayangi.

Ikhlas, sabar, dan lapang dada.

Sesungguhnya kemampuan saya untuk tiga hal di atas, hanya Allah yang mampu memberikannya. Tiga hal ini menurut saya adalah hal-hal dasar untuk menjalani segala ketetapanNya.

Saya merasa jika Allah sudah memberikan saya kekuatan ini, saya mampu menjalani segala bentuk ujian maupun rahmatNya. Akhir-akhir ini pikiran tentang duniawi, khususnya perkara jodoh, kembali mengusik pikiran saya. Yang mana tertuju pada satu objek.

Mungkin saya tidak khawatir, tapi rasa harap masih ada, dan saya mau itu tidak ada lagi. Bukan karena saya tidak ingin, tapi lebih pada saya tidak tahu mana yang baik untuk saya, sementara Allah Maha Mengetahui. Saya ingin agar pribadi ini mengikhlaskan apa-apa yang di luar kuasa manusia. Dan manusia itu ada di luar kuasa saya, namun berada dalam kuasaNya.

Saya ingin Allah ridho pada saya, pada semua yang saya lakukan, pada jalan-jalan yang saya tapaki.

Kalaulah itu baik dalam pandangan manusia, namun Allah tidak ridho, untuk apa? Maka saya bermohon agar Allah selalu memberi petunjuk jalan-jalan mana saja yang Ia ridhoi untuk saya.

Saya ingin sabar saya lebih luas lagi. Sabar ketika banyak hal-hal yang tidak terjadi sesuai harap. Lagi-lagi harap. Agar diri ini tak terpuruk dan berujung suudzon pada Rabbnya. Agar diri ini berada dalam pemikiran 'memang sudah yang terbaik menurut Allah'.

Dan lapang dada. Saya yakin, hati manusia adalah sesempit-sempitnya ruang. Saya ingin agar saya menjalankan ketetapan dan ketentuanNya tidak dengan hati yang sempit. Karena nanti akan jadi sulit. Banyak hal-hal tentang ketetapan dan ketentuan Allah yang sebenarnya tidak sulit, tapi hati yang sempit, hingga menjadi sulit, dan menimbulkan pertanyaan berbelit-belit.

Keikhlasan, kesabaran, dan kelapangan dada atas hal-hal duniawi adalah serangkaian anak tangga menuju puncaknya, yaitu keikhlasan dalam bertauhid pada Allah.

Semoga Allah senantiasa memberikan dan menetapkan hidayah atas hamba-hambaNya. Aamiin.

Komentar

Popular

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena...

Bising

Luarku tampak tenang Tapi, otakku bergemuruh Seperti ombak di tengah samudera Menghantam kapal-kapal nelayan Yang tengah mencari ikan. Aku diam Namun, kebisingan ini tak mau hilang. Aku menangis, Kukira ia akan pergi melalui Rembesan air yang mengalir. Suara-suara itu masih ada Tak mau diam Hingar bingar itu masih terasa Tak mau pergi Perutku pun bergemuruh Meminta haknya yang tak jua diisi Karena hingar bingar ini membunuh Semua rasa laparku Aku menutup mata Masih dengan harap yang sama Hanya supaya tak lagi bising Sudah berhenti Aku ingin memejamkan mata sejenak Kembalilah di waktu lain

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di- uninstall ..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial. Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya. Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya. Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu. Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopu...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Niat

Iman manusia itu tidak tetap, cenderung naik dan turun. Rasul yang benar-benar Allah jaga saja masih banyak-banyak berdoa agar ditetapkan iman Islamnya. Akhir-akhir ini sedang kembali memperbaiki niat dalam banyak hal terutama ibadah. Niat 'karena Allah' itu kadang masih bias. Jadi ketika ingin ibadah, mempertanyakan lagi, saya niat sholat untuk apa ya? Udah benar karena Allah belum ya? Atau karena sudah terbiasa sholat jadi ya kurang saja kalau belum sholat.  Bahkan, hingga sekarang saya masih meraba bekerja karena Allah itu seperti apa. Niat juga berhubungan dengan yang namanya muraqabah; perasaan yang membuat kita sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi hamba-Nya. Sifat ini yang lagi saya pupuk pelan-pelan agar apa-apa yang saya kerjakan saya selalu ingat, Allah lihat loh. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai titik terdalam diri. Perkara niat ini cukup menyentil karena kajian Ust. Oemar Mita. Dalam videonya beliau bilang, 'niat ibadah karena Allah itu utama,...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja...