Langsung ke konten utama

Surat Cinta Untuk Rabbnya - Hening

Dalam kesunyian yang sedang Bumi ciptakan, terbersit bayangan akan Ramadan yang sebentar lagi datang.

Kemudian ingatan melayang jauh ke tahun lalu, saat pertama kali diri ini beritikaf.

Dengan kebaikan hati dari atasan,
saya menghabiskan 10 malam terakhir Ramadan dengan berusaha mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.

Saya sadar penuh di 20 malam pertama, ibadah saya tidak akan maksimal.

Kenikmatan batiniah yang belum pernah saya rasakan. Pengalaman pribadi yang tidak akan bisa saya bagikan.

Dalam 10 malam itu di pikiran saya hanya,
"Rorien, bekalnya masih sedikit sekali.. perjalanan yang akan ditempuh jauh loh. Tahun depan belum tentu ketemu Ramadan loh."

10 hari yang kebanyakan diisi dengan menangis, 10 hari yang sebentar, 10 hari yang diisi dengan harapan untuk berlama-lama di Ramadan.

Dan saat 1 hari terakhir,
pertama kali pula saya merasa sedih yang teramat karena harus berpisah dengan Ramadan.

Nikmat ibadah yang Allah berikan sungguh luar biasa rasanya. Nikmat yang begitu besar untuk hamba yang hanya setitik dari debu-debu di Galaksi.

Saya sudah bersedih hati memikirkan tidak bisa beritikaf kembali. Menikmati keheningan dan kesunyian di masjid.

Dalam masa pandemi ini,
tidak terbayang bagaimana sunyinya masjid..
Bagaimana heningnya saat berbuka.

Tapi dalam sunyi, makna kehidupan pasti didapat.

Mungkin Allah ingin agar manusia diam dan merenungkan kembali,
sudah mampukah ia bersyukur atas segala hal yang dengan cuma-cuma Allah berikan.

Sudahkah ibadahnya jauh jauh lebih baik daripada hal-hal duniawinya?

Sudahkah ia sadar bahwa segala hal yang ia peroleh saat ini bisa Allah ambil dalam sekejap saja?

Saya tahu bahwa ini bukanlah hukuman, melainkan ujian kenaikan kelas.

Berkah yang menanti di depan begitu luas, begitu banyak.

Ya Rabb,
Engkau yang Maha Menyayangi makhluk-makhlukmu. Kasih sayangMu jauh lebih luas daripada murkaMu. Maka bantu hambaMu untuk melewati semua ini ya Allah, redakanlah sebelum bulan penuh ampunanMu itu datang.

:')

Komentar

Popular

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena...

Bising

Luarku tampak tenang Tapi, otakku bergemuruh Seperti ombak di tengah samudera Menghantam kapal-kapal nelayan Yang tengah mencari ikan. Aku diam Namun, kebisingan ini tak mau hilang. Aku menangis, Kukira ia akan pergi melalui Rembesan air yang mengalir. Suara-suara itu masih ada Tak mau diam Hingar bingar itu masih terasa Tak mau pergi Perutku pun bergemuruh Meminta haknya yang tak jua diisi Karena hingar bingar ini membunuh Semua rasa laparku Aku menutup mata Masih dengan harap yang sama Hanya supaya tak lagi bising Sudah berhenti Aku ingin memejamkan mata sejenak Kembalilah di waktu lain

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di- uninstall ..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial. Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya. Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya. Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu. Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopu...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Niat

Iman manusia itu tidak tetap, cenderung naik dan turun. Rasul yang benar-benar Allah jaga saja masih banyak-banyak berdoa agar ditetapkan iman Islamnya. Akhir-akhir ini sedang kembali memperbaiki niat dalam banyak hal terutama ibadah. Niat 'karena Allah' itu kadang masih bias. Jadi ketika ingin ibadah, mempertanyakan lagi, saya niat sholat untuk apa ya? Udah benar karena Allah belum ya? Atau karena sudah terbiasa sholat jadi ya kurang saja kalau belum sholat.  Bahkan, hingga sekarang saya masih meraba bekerja karena Allah itu seperti apa. Niat juga berhubungan dengan yang namanya muraqabah; perasaan yang membuat kita sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi hamba-Nya. Sifat ini yang lagi saya pupuk pelan-pelan agar apa-apa yang saya kerjakan saya selalu ingat, Allah lihat loh. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai titik terdalam diri. Perkara niat ini cukup menyentil karena kajian Ust. Oemar Mita. Dalam videonya beliau bilang, 'niat ibadah karena Allah itu utama,...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja...