Langsung ke konten utama

Surat Cinta untuk Rabbnya - Nikmat

Lagi-lagi saya jauh.

Jatuh, menggebu, terjerembab dalam kubangan yang dahulu pernah saya ikrarkan tak lagi akan seperti itu.

Bolehkah saya kembali berkata saya hanya manusia, tempat segala lupa. Tempat segala salah bersemayam.

Lupa diri. Diambil. Sendiri.

Diambil?

Bahkan apa-apa yang ada bukanlah milik saya. Bahkan diri saya bukanlah milik saya. Jiwa saya sepenuhnya selalu milik Yang Kuasa.

Lantas, mengapa menyakiti?

Manusia ini hanya bisa terdiam. Berpikir tentang hal-hal yang tak bisa dia ubah karena terlanjur terjadi. Memperbaiki pun tak membuat hal tersebut kembali berdiri seperti sedia kala, tanpa cela, sempurna.

Sekali lagi manusia ini menyadari, ia tak kuasa, bahkan untuk dirinya. Lalu, untuk apa terlalu percaya diri bahwa ia tak perlu lagi bersimpuh dalam-dalam dan meminta dengan serendah-rendahnya?

Jemawa. Angkuh.

Dirinya hanya setitik debu, tak terlihat di alam semesta yang tercipta dalam sekejap, jentikan jari Tuhannya dalam 6 hari.

Nikmat. Lagi-lagi nikmat membuatnya lalai. Lagi-lagi dunia membuatnya berpaling. 

Sekarang apa? Cepat kembali. Segala risau di hati adalah panggilan dari Yang Maha Mengasihi. Pertanda bahwa tak boleh ada yang lebih lekat di hati selain Sang Pemilik Hati. 

Komentar