Langsung ke konten utama

Kriteria

Allah membiarkan manusia meminta sedetail-detailnya, sebanyak-banyaknya, sesering itu.. dalam hal apapun.

Berdoa tidak melulu soal hal besar, tapi sampai pada hal kecil semacam 'aduh lagi ingin makan ini ya Allah.'

Menyertakan Allah dalam tiap-tiap urusan pada praktiknya adalah hal yang tidak mudah. Seringnya manusia lalai ketika diberi nikmat, dan lupa pada Rabbnya. Tidak menyertakan Rabbnya dalam narasi kebahagiaan itu.

Tenggelam.

Prolog yang sebenarnya tidak terlalu berhubungan dengan apa yang ada di pikiran saya saat ini.

Menyoal soal spesifikasi doa, belakangan saya tidak terlalu meminta hal besar pada Allah. Seringnya saya minta untuk dikuatkan dalam menjalani apa-apa yang sudah ditetapkan. Memohon petunjuk dalam berjalan di dunia ini, mana yang Allah ridho dan ada berkahnya untuk saya.

Menyoal doa, saya sedang jarang meminta perkara jodoh, entahlah. Mungkin itu jadi salah satu hal yang ada di hati namun tak saya ucap, tapi yakin bahwa Allah Maha Mendengar.

Perkara soal jodoh, kriteria saya pernah setinggi langit. Lantaran, saya pernah menyadari bahwa saya mencari sosok imam yang akan memimpin saya dan keluarga saya kelak. Kriteria yang saya pikir terlalu muluk untuk saya yang biasa-biasa saja. Tapi, toh tak ada salahnya berharap Allah akan kabulkan kan?

Kemudian, kriteria ini jadi saya turunkan - terlalu muluk. Dan menurut saya, kriteria ini bisa 'sembari' dipelajari bersama, bila sama-sama berkeinginan untuk belajar.

Agama.

Rasulullah mengatakan agama sebagai kriteria pasangan paling terakhir, namun itu yang utama. Kadang, ketika berbicara agama sudah terlalu takut akan dipandang terlalu baik tapi ternyata itu hanya tipu daya setan supaya manusia semakin jauh dari Rabbnya.

Hal ini saya sadari karena percakapan dengan teman kemarin.

"Jangan diturunin, Pin standardnya. Sholat itu bukan kriteria, sholat itu wajib. KKM-lah istilahnya. Lo itu makmum, pasti mencari imam."

Dari narasi itu, saya seperti disadarkan bahwa sudah sholat saja belum cukup tapi bagi saya itu sudah seperti satu langkah menuju kebaikan selanjutnya.

Tak bisa dimungkiri, meski sholat adalah hal paling dasar tapi berapa banyak manusia yang sudah memiliki landasan seperti itu?

Perjalanan mengenal manusia dalam ilmu keagamaannya memang jadi jalan panjang. Pun saya masih dan akan terus berada di jalan belajar soal itu.

Baik masih jauh dari genggaman. Lupa selalu dekat, lalai seperti melekat.

Narasi doa pun ditambah, semoga Allah berkenan mempertemukan saya dengan manusia yang mau sama-sama mencari berkah dan ridhoNya. Yang sama-sama mau belajar lebih lagi soal Islam. Yang tidak hanya luas ilmunya tapi juga baik akhlak dan adabnya.

Narasi doa seperti ini saya rasa tidak berlebihan dan muluk ketika dipanjatkan kepada Yang Maha Memiliki, Yang Maha Mengasihi. 

Komentar

Popular

Ada Apa dengan Saya?

"Semuanya aja di- uninstall ..", ujar seorang teman saya ketika saya memberitahukan bahwa saya tidak lagi memakai satu aplikasi media sosial. Pelik dan rumit. Mungkin dua kata itu yang dapat menggambarkan keadaan pikiran saya akan keadaan sosial saya saat ini. Saya merasa tidak ingin diketahui keberadaan dan aktivitas yang sedang saya lakukan. Saya merasa saya sedang menarik diri dari lingkungan lama saya. Saya merasa ingin tenggelam saja sendiri bersama pikiran-pikiran saya. Saya kenapa? Saya pun tidak tahu jawabannya. Sudah hampir enam bulan saya pergi dari satu media sosial, instagram. Bukan karena alasan media sosial ini diidentikan dengan 'pamer kehidupan', tapi saya enggan melihat aktivitas orang-orang. Hal ini berdampak pada rasa membanding-bandingkan saya dengan orang lain. Tidak terlalu sering, tapi cukup mengganggu. Saya menelaah lagi lebih dalam ketika saya mulai 'hijrah' ke platform media sosial yang lain, Twitter. Karena sudah tidak sepopu...

Kalau Saya Boleh Memutar Waktu

Saya pernah mendengar percakapan seperti ini ketika suatu hari ada acara keluarga; "Katanya nanti pas SMP, Rama mau dimasukin pesantren, padahal kakak-kakaknya sarjana semua.." WALA. Pernyataan yang cukup bikin saya mengernyitkan dahi. Dulu sekali ketika saya masih berada di zaman jahiliyah (yadu), persepsi yang ditanamkan pada otak saya mengenai pesantren itu negatif. Mengapa? Ya karena keluarga saya mengatakan bahwa pesantren itu tempatnya anak-anak nakal. Pesantren itu tempat di mana si anak-anak nakal ini 'dididik dengan cara yang sangat tegas' agar ketika keluar pesantren tidak lagi jadi anak nakal. Pola didiknya seperti disuruh mengepel lantai, nyapu, masak, pokoknya kegiatan-kegiatan semacam inilah. Penanaman ide ini timbul karena adanya pengalaman dari kakak sepupu saya yang dulu pernah 'dititipkan' di pesantren. Kakak sepupu saya ini memang mengalami hal yang tidak mengenakan, tapi tidak separah persepsi yang ditanamkan di otak saya. Karena...

Bising

Luarku tampak tenang Tapi, otakku bergemuruh Seperti ombak di tengah samudera Menghantam kapal-kapal nelayan Yang tengah mencari ikan. Aku diam Namun, kebisingan ini tak mau hilang. Aku menangis, Kukira ia akan pergi melalui Rembesan air yang mengalir. Suara-suara itu masih ada Tak mau diam Hingar bingar itu masih terasa Tak mau pergi Perutku pun bergemuruh Meminta haknya yang tak jua diisi Karena hingar bingar ini membunuh Semua rasa laparku Aku menutup mata Masih dengan harap yang sama Hanya supaya tak lagi bising Sudah berhenti Aku ingin memejamkan mata sejenak Kembalilah di waktu lain

Surat Cinta untuk Rabbnya - Niat

Iman manusia itu tidak tetap, cenderung naik dan turun. Rasul yang benar-benar Allah jaga saja masih banyak-banyak berdoa agar ditetapkan iman Islamnya. Akhir-akhir ini sedang kembali memperbaiki niat dalam banyak hal terutama ibadah. Niat 'karena Allah' itu kadang masih bias. Jadi ketika ingin ibadah, mempertanyakan lagi, saya niat sholat untuk apa ya? Udah benar karena Allah belum ya? Atau karena sudah terbiasa sholat jadi ya kurang saja kalau belum sholat.  Bahkan, hingga sekarang saya masih meraba bekerja karena Allah itu seperti apa. Niat juga berhubungan dengan yang namanya muraqabah; perasaan yang membuat kita sadar bahwa Allah Maha Melihat dan Mengawasi hamba-Nya. Sifat ini yang lagi saya pupuk pelan-pelan agar apa-apa yang saya kerjakan saya selalu ingat, Allah lihat loh. Bukan hanya di permukaan, tapi sampai titik terdalam diri. Perkara niat ini cukup menyentil karena kajian Ust. Oemar Mita. Dalam videonya beliau bilang, 'niat ibadah karena Allah itu utama,...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Ada yang Tidak di Situ Lagi

Menjelang sore hari kemarin tetiba hati saya rasanya hampa sekali. Tiba-tiba saya ingin segera menyelesaikan semua pekerjaan saya dan tidur. Hampa. Kosong. "Ini kenapa ya.." Saya rindu masjid. Saya rindu ketika kapan saja saya bisa bermunajat ke sana. Terutama ketika hati dan pikiran sedang tak karuan. Duduk lama. Membaca mushaf. Mendengar kajian. Melihat orang-orang sedang bersujud, berbicara pada Rabbnya. Saya rindu sekali masjid. Ketika tujuan pulang saya bukan rumah, tapi masjid. Sekadar mampir untuk berkunjung ke rumah Allah. Masjid. Di mana pun selalu memberikan ketenangan yang berbeda. Selalu memberikan rasa aman yang didamba. Selalu membuat ingin berlama-lama. Saya rindu berdiam diri di masjid. Tak ada rasa yang paling menenangkan ketika sudah mengeluarkan semua kegundahan di hati melalui ucapan istigfar. Tak ada yang lebih menguatkan daripada lafaz Lahawla. Tidak banyak doa yang diucap, hanya mohon ampunan. Berharap, masih ada kesempatan untuk ja...