Langsung ke konten utama

Pikiran Berlebih

"Makanya kalau kerja jangan dimasukkin ke hati, Pin."

Kata-kata temen saya yang sudah kenal sejak di bangku kuliah semacam muter-muter di dalam otak.

Dulu, saya sering sekali kewalahan dengan tugas kuliah. Bukan karena banyak atau sulitnya, tapi rasanya seperti tenggelam dalam isu yang sedang dianalisis. 

Pikiran saya seperti melanglangbuana dan bisa kesal sendiri bila ada penerapan kebijakan yang dalam pandangan saya merugikan rakyat.

Ternyata, hal itu berlanjut ketika saya bekerja di media yang membuat saya harus berjibaku dengan keadaan pemerintah yang... mengecewakan.

Saya pernah merasa kesal dan kecewa dengan pemerintah. Saya juga tidak tahu kenapa bisa merasa seperti itu. Rasa kecewanya sama dengan dikecewakan pacar.

Saya juga sering larut dalam sedih ketika harus berhadapan dengan berita-berita bencana alam atau bom yang memakan korban. Saya bisa tiba-tiba nangis dan sendu beberapa hari setelahnya.

Beberapa waktu lalu, saya harus menghadapi berita sela soal jatuhnya pesawat. Satu bulan saya kewalahan secara emosi karena peristiwa malam itu, sampai-sampai enggan menengok berita apapun di luar kerjaan kantor terkait peristiwa tersebut.

Saya masih bingung bagaimana cara mengontrol emosi agar tidak larut dalam isu yang dibaca. Memang tidak semua isu, hanya isu yang terkait politik luar negeri, ham, lingkungan, sosial - ya semacam itu.

Yang terbaru, saya sedih sekali melihat foto gunung sampah di Bantargebang. Pikiran saya sekejap berkelana ke pertanyaan semacam, gimana ya orang di sana, itu kalau longsor lagi gimana, itu sampah gak bakal abis, dllnya.

Lucunya, hari ini saya kesal sampai menangis karena ibu saya membuang botol-botol dan sampah plastik yang sudah saya kumpulkan untuk didaur ulang. 

Berlebihan sekali.

Entah kenapa rasanya saya berdosa sekali kepada Bumi atas pemakaian sampah-sampah ini..

Tetiba menemukan bacaan kalau yang saya alami ini masuk dalam 'big picture overthinking'. Saya pun baru tahu bila overthinking ada jenis-jenisnya. Bukan mau self-diagnose, tapi saya rasa itu cukup menjawab pertanyaan 'saya kenapa'.

Semoga perlahan-lahan bisa mengendalikan pikiran berlebih atas isu-isu global ini ya😅

Komentar

Popular

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Syukur

Satu bagian dari diri saya masih memroses hal baik dan manis yang belakangan ini terjadi karena satu orang. Entah apa rencana Allah hingga Ia beri saya teman dalam perjalanan hidup yang panjang ini.  Setelah bertahun-tahun terkungkung dalam pikiran bahwa saya tidak menarik, manusia ini dengan gamblangnya mengatakan ingin bersama selamanya. Tak ada satu hari pun tanpa dia menghujani saya dengan kalimat-kalimat sayangnya yang terasa begitu tulus dan dilontarkan begitu saja. Dia tidak berhenti mengatakan bahwa dia sayang, meski sering kali kata itu tidak saya balas karena percayalah kata-kata itu terlalu berarti hingga saya merasa tak bisa membalasnya. Namun, tiap kalimat-kalimat manis yang ia tulis untuk menunjukkan betapa bersyukurnya dia bertemu saya, hanya mampu saya balas dengan doa: "Ya Allah jagalah dia dan berikan ia kesehatan, serta bahagia dan ketenangan hati sampai nanti." Hingga saya menulis ini, air mata saya seperti mengiyakan kebaikan orang ini atas saya.  Mungkin...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Terima Kasih

Dalam perjalanan pulang sehabis bekerja hingga larut, saya berhenti sejenak. Menengok ke sekitar, menengadahkan wajah ke langit. Lalu bergumam,  Masya Allah saya sudah ada di titik ini. Titik yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi di tahun sebelumnya. Lebih besar, lebih menyenangkan. Berkesempatan ada di sini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, melihat dalam perspektif yang berbeda. Air mata saya luruh diam-diam, tak mampu saya bendung. Ingin sekali bergegas berwudhu dan mengucap syukur sebanyak-banyaknya, serta memohon ampun sedalam-dalamnya. Begitu besar yang Allah beri, begitu sedikit kewajiban yang saya tunaikan. Tak ada murka dalam tiap perjalanan, tapi selalu ada teguran yang mengembalikan. Ya Rabb, hambaMu yang lalai ini berusaha untuk selalu berterima kasih atas segala ketetapan dan ketentuanMu. Masih banyak sekali lalai dalam syukurnya, masih banyak kufur dalam nikmatnya. Ya Rabb, terima kasih. Terima kasih.

Semakin Berbagi, Semakin Allah Beri

Berbagi itu tentang mensyukuri nikmat yang Allah kasih. Berbagi itu tentang menyadari bahwa semuanya yang dimiliki hanya titipan Illahi. Semakin banyak berbagi, semakin berbahagia diri ini. --- Tidak pernah ada orang yang berbagi lalu menjadi miskin. Yang ada, semakin cukup, semakin kaya. Allah akan gantikan dengan yang lebih baik lagi, tak hanya dalam bentuk materi, tapi juga kenikmatan beribadah sampai ketenangan diri. Yang hilang akan Allah ganti, sebagai mana Ia katakan dalam Ad-Dhuha. Dan jangan lupa, janji Allah itu pasti. Tentang berbagi ini, saya sadari tidak hanya melulu materi. Saya coba untuk berbagi dengan apapun yang ada di diri saya. Ilmu, senyuman, tenaga. Selalu mendapat energi positif dari kegiatan sosial adalah salah satu cara saya agar mereduksi energi negatif yang terkadang datang menghampiri.  Dari mengajar adik kecil hingga membantu memberi makan pada yang membutuhkan. Namun, satu kisah berbagi paling menarik versi saya yakni k...

Bolak-balik Hati

Sejatinya hati manusia itu milik Allah. Manusia, yang sering dengan jemawanya sering menyebut hati adalah miliknya, bahkan tidak akan pernah mengerti tentang hati tersebut. Tiga bulan lalu saya merasa sepi, kosong, butuh afeksi dari manusia lain. Sampai-sampai merasa tak ada yang peduli. Namun, saya lupa. Saya lupa meminta untuk terus diberikan rasa cukup dan penuh. Untuk jangan dibiarkan merasa sepi meski sendiri. Untuk diberikan rasa cukup di hati hanya dengan kehadiran Allah. Saat ini, saya sedang merasa cukup dan penuh, sehingga tidak merasa butuh manusia lain. Perasaan yang seharusnya tinggal lama. Tapi, hati adalah bagian yang paling sering goyah jika tak benar-benar dijaga. Hari ini dia bisa meletup-letup bahagia, namun di lain hari dia bisa merasa paling gundah dan gulana. Tak berhenti saya berdoa untuk bisa merasa seperti ini lebih lama, supaya tak ada celah untuk berharap afeksi dari manusia. Bila memang bentuk afeksi Allah adalah lewat manusia lain, akan saya terima. Tapi, s...