Langsung ke konten utama

Seratus

Nyokap suatu hari pernah bilang; Jangan percaya orang 100 persen. Sisain sebagian, jadi kalau dia bohong atau ngecewain kamu, kamu masih bisa percaya dia.

Dan nyokap bilang itu saat umur saya masih kecil banget dan tentu saja belum mengerti malah menimbulkan pertanyaan, kok gitu sih?

Tapi, kata-kata nyokap itu terpatri sekali di otak saya. 

Makin bertambah usia, makin bertemu jenis manusia, saya jadi makin paham maksudnya apa. 

Memberi 100 persen kepada manusia itu semacam judi, bisa untung bisa rugi. Tidak pasti. Hidup sudah pasti akan mengecewakan, akan bikin sedih, marah, dan perasaan tidak enak lainnya. Belum lagi harus ditertawakan ekspektasi sendiri. 

Sepenuh-penuhnya memberi sesuatu yang ada di diri saya ke orang lain, saya juga harus menyisakan untuk saya sendiri. Untuk bertahan, untuk berdiri lagi kalau sudah terpuruk, dan supaya tidak minta untuk diisi atas hal yang sudah hilang dari diri.

Kalau diri ini kosong, mau kasih apa ke manusia lainnya? Belajar untuk bisa isi diri sendiri juga penting sekali.

Perlahan. Saya upayakan semuanya perlahan.

Bentuk pembelaan diri: saya anak pertama. Secara alam bawah sadar, dituntut untuk berbagi pun secara natural saya merasa bertanggung jawab atas hal-hal di luar diri saya.

Dulu, rasanya sulit sekali untuk mengedapankan diri saya di atas yang lain, karena merasa hal tersebut egois.

Namun, semakin ke sini, saya sadar saya hanya punya saya seorang. Kalau sudah babak belur, siapa yang mampu perbaiki lagi?

Dari hal kemarin saya sudah coba menyisihkan untuk diri saya sendiri, mungkin itu yang membuat tidak terlalu terpuruk dan berlarut. Masih ada modal yang bisa saya pakai untuk menghadapi hari-hari.

Belajar soal diri memang akan sampai nanti, sampai mati. Semoga bisa terus dan selalu sayang diri ini, atas buruk dan baiknya. 

Memberi 100 persen hanya bisa dilakukan ke Allah saja, bahkan harus lebih. Satu-satunya hal yang tidak akan sia-sia. Sebuah investasi dunia maupun akhirat.

Komentar