Langsung ke konten utama

Memulai

Langkah pertama dalam hal apapun jadi yang paling sulit. Masih berkutat di konteks percintaan, ternyata memulai hubungan butuh tenaga yang banyak.

Rasanya, setelah mencoba berkenalan dengan beberapa orang di tahun ini, saya tidak lagi ada energi.

Takut adalah bahan bakar saya untuk terus mencoba. Entah benar atau salah. Perasaan takut kembali seperti dulu membayangi diri tak henti.

Tiap ada yang menarik hati, perasaan takut pun hadir membayangi. Pertanyaan di otak silih berganti. Meminta jawaban meski si empunya pun tidak tahu harus memberi jawaban apa.

Akhirnya, langkah kaki menjadi mundur. Menghilang jadi pilihan terdepan.

Lalu, ketika hati sudah baikan, ia akan coba kembali. 

Malam ini saya sadar. Perasaan takut itu perlu digali, dipulihkan. Dicari apa akar penyebabnya. Kalau tidak, saya akan terus-terusan takut atas hal yang saya pun tidak tahu pasti di sebelah mana penyebabnya.

Sedih sekali saya harus merasa seperti ini di saat ada manusia yang sedang menggugah hati.


Komentar

Popular

Caregiver

 Mari memulai tulisan ini dengan, hai apa kabar? Hampir enam bulan sejak saya memutuskan untuk menjalani ketetapan Allah atas kesempatan beribadah terpanjang. Dari waktu yang masih singkat ini pula saya belajar banyak hal dan masih akan belajar banyak hal lagi ke depannya.  Namun, dua hal yang lagi-lagi jadi poin dalam ibadah ini dan terus-terusan saya minta ke Allah untuk bantu diberikan: sabar dan mengerti. Agaknya tanpa dua hal itu, saya yang egonya masih di ubun-ubun, tidak akan tanggungjawab atas komitmen besar ke Allah ini dan bakal mengiyakan suara-suara di kepala saya: pergi aja kali ya? Tiap pikiran itu datang, saya berusaha mengingat Allah, berusaha mengingat bahwa ini adalah ujian karena tujuan saya menikah adalah ingin mendapat berkah Allah. Tidak mungkin diberkahi tanpa ujian bukan? Surah al-Anfal [28] ayat 28, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” Tapi sebagaimana ujian, kad...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Perjalanan

Hati-hati, ya Nak. Ucapnya.  Saya pun pergi untuk kembali mengadu nasib. Rutinitas seperti biasa. Telepon saya berdering. Ada ibu saya diseberang sana. Dengan sedikit bernada tinggi dan menangis, namun tidak dengan ucapan yang jelas. Saya tahu ada yang tidak beres. Saya berusaha tenang, karena tak mungkin memunculkan kepanikan di tengah suasana kantor yang tenang. "Mbak, saya izin ya." Saya bergegas. 'Hai-hati ya, Nak.' Begitu terngiang di pikiran saya. Iya. Saya harus hati-hati. Sesampainya. Saya lihat si empunya suara suda berbaring tak berdaya, lemah. Saya tak lagi mampu menopang bendungan air mata yang sejak tadi sudah berebut untuk menelusuri pipi. Ya Rabb. Pelajaran tentang perpisahan paling dalam dan paling menyakitkan adalah kematian. Tapi ia adalah sebuah kepastian. Namun, si empunya suara masih ingin hidup.  Mungkin masih ingin bertemu keluarganya.  Mungkin masih merasa ada yang belum ia tuntaskan.  Mungkin...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Terima Kasih

Dalam perjalanan pulang sehabis bekerja hingga larut, saya berhenti sejenak. Menengok ke sekitar, menengadahkan wajah ke langit. Lalu bergumam,  Masya Allah saya sudah ada di titik ini. Titik yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi di tahun sebelumnya. Lebih besar, lebih menyenangkan. Berkesempatan ada di sini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, melihat dalam perspektif yang berbeda. Air mata saya luruh diam-diam, tak mampu saya bendung. Ingin sekali bergegas berwudhu dan mengucap syukur sebanyak-banyaknya, serta memohon ampun sedalam-dalamnya. Begitu besar yang Allah beri, begitu sedikit kewajiban yang saya tunaikan. Tak ada murka dalam tiap perjalanan, tapi selalu ada teguran yang mengembalikan. Ya Rabb, hambaMu yang lalai ini berusaha untuk selalu berterima kasih atas segala ketetapan dan ketentuanMu. Masih banyak sekali lalai dalam syukurnya, masih banyak kufur dalam nikmatnya. Ya Rabb, terima kasih. Terima kasih.

Hujan

Sore kemarin terbangun karena mendengar suara hujan yang begitu deras. Meski berisik, tapi suara hujan ketika denger bagai alunan alam yang menenangkan. Lalu pikiran berkelana. Saya, detik ini, masih tidur dengan atap di atas kepala saya dan kasur di bawah badan saya. Suara hujan lantas menjadi pengantar tidur. Tapi, Bagaimana dengan orang di luar sana yang harus resah dan cemas tiap hujan turun deras? Khawatir air akan membanjiri hunian mereka. Berkah dan bencana hanya penamaan dari manusia. Semua itu datangnya dari Allah. Di satu sisi, yang orang kira berkah bisa saja sebenarnya bencana. Sementara, yang orang kutuh sebagai bencana nyatanya adalah berkah tak terhingga dari Rabbnya.

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...