Langsung ke konten utama

Tentang 1 Bulan dalam Masa Ibadah Terpanjang

Tepat tanggal satu ini, saya sudah menjalani ibadah terpanjang bersama satu orang yang Allah pilihkan untuk saya.

Seseorang yang insyaAllah selama-lamanya akan menjadi teman saat senang, dan yang terpenting kala hati sedang tak tenang.

Masa adaptasi tentu tidak akan berhenti di sini, tapi seumur hidup. Begitu pula hal-hal yang harus dipelajari tentu semakin banyak.

Satu bulan, kalau kata orang, masih indah-indahnya. Belum ada hal yang membuat berang, sebal, marah sampai segitunya.

Namun, saya berdoa, tak hanya di satu bulan ini tapi di banyak bulan-bulan mendatang, Allah lebih banyak melingkupi kami dengan rasa saling. Sehingga, rasa indah akan senantiasa di sekitar, meski misalnya amarah sedang menghampiri.

Satu hal yang membuat saya bersedia menghabiskan hidup saya dengan orang ini adalah rasa aman dan rasa sayang dia yang rasanya tak pernah berkurang, dari hari pertama - malah semakin bertambah.

Ketakutan atas perubahan dan merasa tak bisa jadi diri sendiri, menjadi trauma masa lalu yang membuat saya sangat sulit untuk menerima rasa sayang dari orang lain.

Tetapi, suami saya, dengan penuh kesabaran dan pengertian, berusaha memahami ketakutan saya.

Lalu, kami bersama-sama belajar untuk mengatasi ketakutan-ketakutan tersebut. Tak hanya rasa takut dari saya, tapi juga dari dia.

Satu bulan juga masih jauh dari kata cukup untuk belajar merawat suami saya. Dia yang fisiknya mungkin tak seprima saya, membuat hati terkadang deg-degan.

Kadang saya terlalu gregetan memaksakan kehendak saya, tanpa berpikir dari sisi dia yang saya amat tahu sangat lelah dengan fisiknya sendiri.

Mungkin itu satu dari ujian kesabaran saya di rumah tangga. Namun, menunjukkan kekhawatiran saya di depannya mungkin akan menambah ketakutan dan kecemasan dia.

Apalah daya, saya hanya bisa bermunajat kepada Allah supaya suami saya senantiasa diberi sehat.

Suamiku,
satu bulan ini jadi satu bulan yang paling berkesan di hidup saya.

Tak ada kata yang bisa menggambarkannya dengan pas, selain saya bersyukur Allah takdirkan saya dengan kamu. Sehat terus ya, supaya kita bisa jalan-jalan ke banyak tempat.

Terima kasih ya sudah berusaha tiap waktunya untuk membuat saya bahagia<3

Komentar

Popular

Caregiver

 Mari memulai tulisan ini dengan, hai apa kabar? Hampir enam bulan sejak saya memutuskan untuk menjalani ketetapan Allah atas kesempatan beribadah terpanjang. Dari waktu yang masih singkat ini pula saya belajar banyak hal dan masih akan belajar banyak hal lagi ke depannya.  Namun, dua hal yang lagi-lagi jadi poin dalam ibadah ini dan terus-terusan saya minta ke Allah untuk bantu diberikan: sabar dan mengerti. Agaknya tanpa dua hal itu, saya yang egonya masih di ubun-ubun, tidak akan tanggungjawab atas komitmen besar ke Allah ini dan bakal mengiyakan suara-suara di kepala saya: pergi aja kali ya? Tiap pikiran itu datang, saya berusaha mengingat Allah, berusaha mengingat bahwa ini adalah ujian karena tujuan saya menikah adalah ingin mendapat berkah Allah. Tidak mungkin diberkahi tanpa ujian bukan? Surah al-Anfal [28] ayat 28, “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” Tapi sebagaimana ujian, kad...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Perjalanan

Hati-hati, ya Nak. Ucapnya.  Saya pun pergi untuk kembali mengadu nasib. Rutinitas seperti biasa. Telepon saya berdering. Ada ibu saya diseberang sana. Dengan sedikit bernada tinggi dan menangis, namun tidak dengan ucapan yang jelas. Saya tahu ada yang tidak beres. Saya berusaha tenang, karena tak mungkin memunculkan kepanikan di tengah suasana kantor yang tenang. "Mbak, saya izin ya." Saya bergegas. 'Hai-hati ya, Nak.' Begitu terngiang di pikiran saya. Iya. Saya harus hati-hati. Sesampainya. Saya lihat si empunya suara suda berbaring tak berdaya, lemah. Saya tak lagi mampu menopang bendungan air mata yang sejak tadi sudah berebut untuk menelusuri pipi. Ya Rabb. Pelajaran tentang perpisahan paling dalam dan paling menyakitkan adalah kematian. Tapi ia adalah sebuah kepastian. Namun, si empunya suara masih ingin hidup.  Mungkin masih ingin bertemu keluarganya.  Mungkin masih merasa ada yang belum ia tuntaskan.  Mungkin...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Terima Kasih

Dalam perjalanan pulang sehabis bekerja hingga larut, saya berhenti sejenak. Menengok ke sekitar, menengadahkan wajah ke langit. Lalu bergumam,  Masya Allah saya sudah ada di titik ini. Titik yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi di tahun sebelumnya. Lebih besar, lebih menyenangkan. Berkesempatan ada di sini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, melihat dalam perspektif yang berbeda. Air mata saya luruh diam-diam, tak mampu saya bendung. Ingin sekali bergegas berwudhu dan mengucap syukur sebanyak-banyaknya, serta memohon ampun sedalam-dalamnya. Begitu besar yang Allah beri, begitu sedikit kewajiban yang saya tunaikan. Tak ada murka dalam tiap perjalanan, tapi selalu ada teguran yang mengembalikan. Ya Rabb, hambaMu yang lalai ini berusaha untuk selalu berterima kasih atas segala ketetapan dan ketentuanMu. Masih banyak sekali lalai dalam syukurnya, masih banyak kufur dalam nikmatnya. Ya Rabb, terima kasih. Terima kasih.

Hujan

Sore kemarin terbangun karena mendengar suara hujan yang begitu deras. Meski berisik, tapi suara hujan ketika denger bagai alunan alam yang menenangkan. Lalu pikiran berkelana. Saya, detik ini, masih tidur dengan atap di atas kepala saya dan kasur di bawah badan saya. Suara hujan lantas menjadi pengantar tidur. Tapi, Bagaimana dengan orang di luar sana yang harus resah dan cemas tiap hujan turun deras? Khawatir air akan membanjiri hunian mereka. Berkah dan bencana hanya penamaan dari manusia. Semua itu datangnya dari Allah. Di satu sisi, yang orang kira berkah bisa saja sebenarnya bencana. Sementara, yang orang kutuh sebagai bencana nyatanya adalah berkah tak terhingga dari Rabbnya.

Yakin

Allah sudah mengarahkan jalan, akhirnya, pada satu orang yang belum lama dikenal. Meski begitu, saya merasa sudah mengenalnya dan bisa berbicara tentang apapun. Dalam waktu kesendirian yang lama ini, membuat saya berpikir, sosok apa yang saya butuhkan untuk bersama-sama menghadapi keanehan hidup. Ternyata sosok itu ada di dirinya. Lubang yang perlahan saya isi dengan diri saya sendiri, menjadi lebih sempurna ketika ia hadir. Kami tak saling mengobati, tapi saling berjanji akan menemani diri berproses. Keputusan ini memang terasa cepat, apalagi banyak hal yang tidak saya ceritakan ke khalayak. Bukan karena tak ingin, tetapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sadar tak perlu sebuah kisah saya sampaikan secara utuh. Malah, lebih dipilah, bagian mana yang bisa diceritakan, mana yang tidak ke orang-orang yang tentunya juga dipilah-pilah. Mungkin fisik dia, tak sekuat saya. Mungkin pemikiran dia, tak setenang saya. Tapi, hatinya luar biasa luas, lapang, dan baik. Tapi, cintanya untuk sa...