Langsung ke konten utama

Hitam

Setelah sekian lama tidak bertemu dengan titik hitam itu, ia kembali menemui saya. Mungkin tak segelap dulu, tapi tetep menyiksa.

Segala gelisah dan cemas, saya paksa redam dalam tidur berjam-jam. Namun, rasa tak enak masih ada dan seperti tak berkesudahan.

Saya harus merelakan tiga hari untuk meringkuk di kasur. Berusaha menerima segala emosi negatif yang sedang datang membelenggu. Semua daya upaya untuk meredakannya seperti ditepas sana dan sini. Tak ada pilihan selain merangkulnya, menerima diri saya yang sedang meredup.

Pikiran yang lalu seakan bersautan. 
"Kenapa.." ada di tiap bagian otak saya yang tentu saja tidak akan menemukan jawabnya.

Dan dari semua yang paling menyiksa adalah pikiran bahwa saya sendirian. Berulang kali saya coba katakan bahwa hal itu tidak benar, tapi berulang kali juga sisi waras saya kalah.

"Iya, saya sendirian. Iya, tidak ada yang peduli. Iya, dunia akan selalu baik-baik saja meski saya tidak ada."

Lalu, sekelebat bayangan keluarga melintas di tengah badai hitam itu, namun tak juga bisa meredakan amukannya.

Saya tahu hal ini tidak boleh terus-terusan saya resapi. Walau tidur tak meredakannya, tetapi tidur membantu saya untuk tak mengaplikasikan pikiran saya ke realita.

Hari ketiga.. rasanya energi saya habis hingga ujung jari. Saya tidak tahu harus dari mana mengisi pundi-pundi energi. Memikirkan bahwa esok hari saya harus menghadapi dunia membuat saya ingin tenggelam saja. 

Bismillah, ya Allah tolong bantu saya, tolong kuatkan saya. Hanya itu yang bisa keluar dari mulut.

Mungkin bukan hari kerja terbaik saya, tapi saya bangga karena bisa bangkit dengan energi yang sedikit. Memasukkan segenggam demi segenggam energi ke dalam tabung diri.

Sampai hari ini, tabung energi belum utuh sepenuhnya. Kadang ia naik, lalu turun, tapi badai hitam sudah pergi jauh. Saya bangga dan bersyukur atas diri saya yang tak terlena untuk berputar dalam badai itu, meski berat ia berusaha keluar dari sana. Menarik dirinya kuat-kuat lalu memberi pelukan hangat di akhirnya. Terima kasih diri.




Komentar

Posting Komentar

Popular

Semakin Berbagi, Semakin Allah Beri

Berbagi itu tentang mensyukuri nikmat yang Allah kasih. Berbagi itu tentang menyadari bahwa semuanya yang dimiliki hanya titipan Illahi. Semakin banyak berbagi, semakin berbahagia diri ini. --- Tidak pernah ada orang yang berbagi lalu menjadi miskin. Yang ada, semakin cukup, semakin kaya. Allah akan gantikan dengan yang lebih baik lagi, tak hanya dalam bentuk materi, tapi juga kenikmatan beribadah sampai ketenangan diri. Yang hilang akan Allah ganti, sebagai mana Ia katakan dalam Ad-Dhuha. Dan jangan lupa, janji Allah itu pasti. Tentang berbagi ini, saya sadari tidak hanya melulu materi. Saya coba untuk berbagi dengan apapun yang ada di diri saya. Ilmu, senyuman, tenaga. Selalu mendapat energi positif dari kegiatan sosial adalah salah satu cara saya agar mereduksi energi negatif yang terkadang datang menghampiri.  Dari mengajar adik kecil hingga membantu memberi makan pada yang membutuhkan. Namun, satu kisah berbagi paling menarik versi saya yakni k...

Syukur

Satu bagian dari diri saya masih memroses hal baik dan manis yang belakangan ini terjadi karena satu orang. Entah apa rencana Allah hingga Ia beri saya teman dalam perjalanan hidup yang panjang ini.  Setelah bertahun-tahun terkungkung dalam pikiran bahwa saya tidak menarik, manusia ini dengan gamblangnya mengatakan ingin bersama selamanya. Tak ada satu hari pun tanpa dia menghujani saya dengan kalimat-kalimat sayangnya yang terasa begitu tulus dan dilontarkan begitu saja. Dia tidak berhenti mengatakan bahwa dia sayang, meski sering kali kata itu tidak saya balas karena percayalah kata-kata itu terlalu berarti hingga saya merasa tak bisa membalasnya. Namun, tiap kalimat-kalimat manis yang ia tulis untuk menunjukkan betapa bersyukurnya dia bertemu saya, hanya mampu saya balas dengan doa: "Ya Allah jagalah dia dan berikan ia kesehatan, serta bahagia dan ketenangan hati sampai nanti." Hingga saya menulis ini, air mata saya seperti mengiyakan kebaikan orang ini atas saya.  Mungkin...

Surat Cinta untuk Rabbnya - Terima Kasih

Dalam perjalanan pulang sehabis bekerja hingga larut, saya berhenti sejenak. Menengok ke sekitar, menengadahkan wajah ke langit. Lalu bergumam,  Masya Allah saya sudah ada di titik ini. Titik yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi di tahun sebelumnya. Lebih besar, lebih menyenangkan. Berkesempatan ada di sini, dalam pesta demokrasi lima tahunan, melihat dalam perspektif yang berbeda. Air mata saya luruh diam-diam, tak mampu saya bendung. Ingin sekali bergegas berwudhu dan mengucap syukur sebanyak-banyaknya, serta memohon ampun sedalam-dalamnya. Begitu besar yang Allah beri, begitu sedikit kewajiban yang saya tunaikan. Tak ada murka dalam tiap perjalanan, tapi selalu ada teguran yang mengembalikan. Ya Rabb, hambaMu yang lalai ini berusaha untuk selalu berterima kasih atas segala ketetapan dan ketentuanMu. Masih banyak sekali lalai dalam syukurnya, masih banyak kufur dalam nikmatnya. Ya Rabb, terima kasih. Terima kasih.

Penuh

Seperti yang sudah-sudah, Allah akan memberi apa yang saya semogakan di saat titik terpasrah saya. Kali ini, hal itu terjadi kembali.  Setelah berjibaku dengan patah hati dan sibuk mengisi diri sendiri, saya sampai di akhir kesimpulan bahwa tidak akan berusaha lagi untuk mengenal seseorang dan hanya menyerahkannya pada Allah. Kira-kira pikiran itulah yang terbersit ketika saya berada di kereta, jauh-jauh untuk menemui orang asing yang sebelumnya pun saya tidak tahu bahwa dia ada di dunia ini. "Kalau ini tidak berhasil juga, berhenti yah," batin saya saat itu.  Saya menemuinya tanpa membawa ekspektasi apapun selain ah ya saya akan punya teman baru lagi, menambah panjang daftar teman baru jalur aplikasi kencan. "Kayaknya saya gak bawa helm, Pin. Pinjem dulu gih di abang gojek," ujarnya membuka percakapan. Memecah kegugupan saya yang sudah minum dua butir milanta. Saya hanya berusaha mengikuti alur percakapan yang dimulai dengan sangat cair. Rasanya seperti perjumpaan ...

Damai yang Mematikan

"Sudah sudah jangan ribut," tegur ibu saya malam ini pada saya dan adik saya. Kami berdua sedang beradu argumen tapi tidak serius, kami pun tahu. Lalu, ibu saya bilang bila pusing mendengar kami. Saya pun menyaut. "Berantem itu bagian dari perkembangan dan tumbuh. Gak akan tumbuh kalau gak berantem. Lagian jadi gak tau apa yang mau disampaikan." Lancar sekali dan terdengar kurang sopan ya. Namun, ibu saya harus tahu kalau kami berdua sudah besar dan paham bagaimana caranya berdiskusi. Sebagai saudara, rasanya wajar toh berselisih pendapat.  Setidaknya saya tahu perspektif adik saya atas satu hal, dan saya pun bisa mengutarakan pendapat saya. Selama tidak pakai bahasa yang kasar, menurut saya ya wajar saja. Lalu, saya menyadari. Pikiran saya melayang ke keadaan rumah bertahun-tahun lalu.  Orang tua kami selalu terlihat adem-ayem saja. Tak pernah tengkar bentak sana sini. Tak pernah saling caci maki di depan kami. Kalau membaca literasi soal 'parenting' ini ad...